Rabu, 06 Agustus 2008

SEPUTAR KARBON

BAB I

PENDAHULUAN

  1. Pengantar

Karbon merupakan salah satu unsur dari unsur-unsur yang terdapat dalam golongan IV A dan merupakan salah unsur terpenting dalam kehidupan sehari-hari karena terdapat lebih banyak senyawaan yang terbentuk dari unsur karbon.

Keistimewaan karbon yang unik adalah kecenderungannya secara alamiah untuk mengikat dirinya sendiri dalam rantai-rantai atau cincin-cincin,tidak hanya dengan ikatan tunggal, C - C , tetapi juga mengandung ikatan ganda C = C, serta rangkap tiga,C≡C.Akibatnya, jenis senyawa karbon luar biasa banyaknya. kini diperkirakan terdapat sekitar dua juta jenis senyawa karbon,dan jumlah itu makin meningkat dengan laju kira-kira lima persen per tahun.Alasan bagi kestabilan termal rantai-rantai karbon adalah kekuatan hakiki yang tinggi dari ikatan tunggal C - C.

Konfigurasi elektron karbon dalam keadaan dasar adalah (1s2 2s2 2p2) mudah terhibridasi menghasilkan perangkat orbital sp3, atau sp2+p, atau sp+p2. Lebih dari sembilan puluh persen senyawa karbon merupakan senyawa sintetik, sedangkan sisanya diperoleh dari mahluk hidup (tumbuh-tumbuhan,hewan,jamur,dan mikroorganisme) serta fosil mereka (batubara dan minyak bumi).

2. Permasalahan

Permasalahan yang akan kami bahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut:

a.Sifat fisik dari karbon

b. Sifat kimia dari karbon

c. Alotropi karbon

d. Senyawa anorganik karbon

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Sifat fisika

Karbon mempunyai sifat fisik yang khas yaitu mempunyai dua bentuk kristalin yaitu intan dan grafit. intan lebih rapat daripada grafit(3,51 g cm-3, 2,22 g cm-3),namun grafit lebih stabil, dengan 2,9 kJ mol-1, pada 300 K dan tekanan 1 atm.

Titik leleh dan titik didih dari karbon sangat tinggi.atom karbon sangat kecil apabila dibandingkan dengan atom-atom lainnya. Jari-jari ion yang dihitung dalam kristal unsur-unsur ini bahkan lebih kecil lagi.karena atom-atomnya berada dalam keadaan oksidasi positif. Karena rapatan muatan karbon,ion-ionnya tidak terdapat sebagai partikel yang berdiri sendiri dalam senyawa, tetapi tertahan dengan ikatan kovalen.karbon merupakan zat padat yang tegar, yang biasa dianggap sebagai molekul-molekul raksasa yang terdiri dari banyak sekali atom.

2.2. Sifat kimia

Karbon sangat tak reaktif pada suhu biasa. apabila karbon bereaksi, tidak ada kecenderungan dari atom-atom karbon untuk kehilangan elektron-elektron terluar dan membentuk kation sederhana seperti C4+. Ion ini akan mempunyai rapatan-rapatan muatan begitu tinggi sehingga eksistensinya tidaklah mungkin.

2.3. Allotropi Karbon

2.3.1. Intan

Intan dapat dihasilkan dapat dihasilkan dari grafit hanya dengan pemberian tekanan tinggi, dan suhu tinggi diperlukan untuk mendapatkan laju perubahan yang diinginkan. Intan yang terdapat secara alamiah terbentuk bila kondisi-kondisi ini disediakan oleh proses-proses geologi.

Pada tahun 1955 dilaporkan adanya suatu sintesis intan dari grafit yang berhasil. meskipun grafit dapat langsung diubah menjadi intan pada kira-kira 30000K dan tekanan diatas 125 kbar,untuk mendapatkan laju perubahan yang berguna, digunakan suatu katalis logam transisi seperti Cr,Fe,atau Pt.tampak suatu lelehan logam terbentuk diatas grafit,melarutkan sebagian dan mengendap sebagai intan, yang kurang larut. Intan sampai dengan 0,1 karat(20 mg) dari kualitas industri yang tinggi dapat dihasilkan secara rutin dengan harga yang bersaing.Intan akan terbakar diudara pada 600 samapi 8000 tetapi kereaktifan kimianya jauh lebih rendah dari grafit atau karbon amorft.

2.3.2.Grafit

Banyaknya bentuk karbon amorft, seperti arang, jelaga, dan jelaga minyak,semuanya adalah bentuk-bentuk kristal mikro sesungguhnya dari grafit.Sifat-sifat fisika dari bahan-bahan seperti terutama ditentukan oleh sifat dan luasnya permukaan.Bentuk-bentuk yang dipisahkan dengan halus,yang memberikan permukaan relatif luas dengan gaya tarik yang jenuh sebagian, dengan mudahudah menyerap sejumlah besar gas dan zat terlarut dari larutan. Karbon aktif yang dijenuhkan dengan palladium, platina, atau logam-logam lain digunakan secara luas sebagai katalis industri. Struktur lapisan grafit yang longgar menyebabkan banyak molekul dan ion memembus lapisan. beberapa darinya dapat terbentuk secara spontan bilamana pereaksi dan grafit dicampur bersama.

2.3.3.Karbida

Interaksi langsung karbon dengan logam atau oksida logam pada suhu tinggi memberikan senyawaan yang disebut karbida.

Logam transisi memberikan interstisi dimana atom karbon mengisi lubang oktahedral dalam deretan kemasan rapat atom logam.logam yang lebih kecil Cr,Mn,Fe,Co, dan Ni memberikan karbida yang bersifat antara jenis ionik dan karbida interstisi dan ini terhidrolisis oleh air.

2.4. Senyawa Anorganik Karbon

2.4.1.Karbon monoksida(CO)

Karbon monoksida dapat dibuat secara komersil dengan hidrogen melalui pembentukan uap kembali atau pembakaran sebagian hidrokarbon dengan reaksi

CO2 + H2 CO + H2O

Gas ini tidak berwarna dan mempunyai titik didih -190. Dapat digunakan sebagai bahan bakar industri melalui reaksi

2CO(g) +O2(g)→2CO2(g)

Gas CO juga dapat trjadi sebagai hasil samping pembakaran senyawa organik dalam ruang kurang oksigen.

C8H18 +6O2(g) 8CO +4H2O

Secara besar-besaran dapat dibuat dengan reaksi

C(S) + H2O → CO +H2

Gas CO sangat berbahaya bagi manusia maupun hewan, karena CO berikatan kuat dengan hemoglobin darah.hemoglobin berfungsi mengedarkan oksigen dari paru-paru ke seluruh tubuh. Orang yang mengisap CO akan kekurangan oksigen dan dapat berakibat fatal.

2.4.2.Karbon Dioksida(CO2)

Karbon dioksida mempunyai struktur molekul linier dan bersifat non polar. Gas ini larut dalam air.terdapat diudara dan sangat penting bagi tumbuhan sebagai bahan fotosintesis serta merupakan komponen nafas yang dikeluarkan oleh hewan ataupun manusia, karena dihasilkan dari oksidasi makanan dalam tubuh.

CO2 dapat dibuat dengan membakar karbon senyawa hidrokarbon, atau gas CO dengan oksigen yang cukup.

C + O2 CO2

CH4 + 2O2 CO2 + H2O

2CO + O2 2CO2

Dilaboratorium gas CO2 dapat dibuat dengan mereaksikan garam karbonat dengan asam seperti :

CaCO3 + 2HCl → CaCl2 + H2O + CO2

Gas CO2 tidak beracun,tetapi konsentrasi yang terlalu tinggi dalam udara adalah tidak sehat, karena merendahkan konsentrasi O2 dan menimbulkan efek fisikologis yang membahayakan.

Jumlah CO2 yang sangat besar sekali. dihasilkan oleh aktifitas manusia, meningkatnya gas CO2 dikhawatirkan atmosfer mungkin menjadi begitu panas, sehingga akan muncul perubahan suhu yang serius yang sering juga disebut efek rumah kaca.

2.4.3.Karbonat dan Bikarbonat

Karbonat dan bikarbonat adalah senyawa yang melimpah dan sangat berguna serta terkenal. Kebanyakan karbonat hanya sedikit larut dalam air. Misalnya CaCO3, BaCO3, MgCO3 dan PbCO3. Banyak bikarbonat hanya stabil dalam larutan air. Contohnya ialah Ca(HCO3)2, Mg(HCO3. Semua logam IA kecuali Litium membentuk karbonat yang larut, dimana yang paling murah dan berguna adalah NaHCO3 (Soda kue), Na2CO3(Soda abu).

2.4.4.Karbon Disulfida(CS2)

CS2 adalah cairan yang mudah terbakar dan dapat dipakai sebagai bahan pembuat CCl4,dengan reaksi:

CS2 + 3Cl2 CCl4 +S2Cl2

2.4.5.Hidrogen Sianida (HCN)

HCN adalah senyawa gas bersifat racun,tetapi penting dalam industri seperti industri plastik.Senyawa HCN dapat dibuat secara komersil melalui reaksi:

NH3 +CH4 HCN + 3H2

BAB III

KESIMPULAN

  • Karbon merupakan unsur utama dalam senyawa organik dan anorganik yang begitu banyak jumlah dan jenisnya.
  • Karbon mengisi tempat khusus diantara unsur-unsur dalam keragaman dan kekomplekan dalam senyawa yang dapat dibentuknya.
  • Karbon juga merupakan zat padat yang tegar,yang biasa dianggapm sebagai molekul-molekul raksasa yang terdiri dari banyak sekali atom
  • Karbon terdapat dalam dalam dua bentuk kristalin yaitu:

1.Grafit

Grafit merupakan zat hitam yang benar-benar terasa berminyak sebagai bubuk kering yang digunakan sebagai pelumas.

2.lntan

Intan merupakan zat padat tidak berwarna yang bisa diasah menjadi kristal-kristal gemerlapan dan merupakan mineral yang paling keras dan paling baik untuk menggosok yang dikenal orang atau merupakan molekul besar yang melebar dalam tiga dimensi(ruang) sehingga atom-atomnya terikat sangat kuat satu sama lain, hal ini mengakibatkan intan menjadi sangat keras.

DAFTAR PUSTAKA

Cotton, F.A. dan Wilkinson, G. 1989. Kimia anorganik I. Jakarta, Universitas Indonesia.

Green Wood, N.N dan Earshshaw, A., 1989. Chemistry of Elements. Newyork Pergamon Press.

Keenan Kleinfelter,W. 1991. Kimia Untuk Universitas. Penerbit Erlangga.

H Petruci, Ralph.1987. Kimia Dasar Prinsip dan Terapan Modern. Bogor.

S.Sukri.1999.Kimia Dasar III. Bandung. ITB.

Jumat, 01 Agustus 2008

UKHUWAH ISLAMIYAH


Makalah pada Forum Kajian Mahasiswa ESQ 165 Pekanbaru, Kamis, 31 Juli 2008
Muqaddimah
Imam Syahid Hasan Al Banna mengatakan Ukhuwah sebagai berikut:
Yang saya maksud dengan ukhuwah adalah terikatnya hati dan ruhani dengan ikatan aqidah. Aqidah adalah sekokoh-kokohnya dan semulia-mulianya ikatan. Ukhuwah adalah saudaranya keimanan sedangkan perpecahan adalah saudaranya kekufuran. Kekuatan yang pertama adalah kekuatan persatuan. Tidak ada persatuan tanpa cinta kasih. Standar minimal cinta kasih adalah kelapangan dada dan standar maksimal adalah itsar (mementingkan orang lain dari diri sendiri).”
Barangsiapa dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung (Al-Hasyr:9)
Akh yang tulus melihat saudara-saudaranya lain lebih utama dari dirinya sendiri, karena jika tidak bersama mereka, ia tidak bisa bersama yang lain. Sememtara mereka jika tidak bersama dengan dirinya bisa bersama yang lain. Sesungguhnya Srigala hanya akan memakan Domba yang terpisah sendirian. Seorang Mukmin dengan Mukmin lainnyaibarat sebuah bangunan, yang satu mengokohkan yang lain.
Orang-orang mukmin laki-laki dan orang-orang mukmin perempuan, sebagian mereka menjadi pelindung bagi lainnya (At-Taubah:71)[1]
Lalu Ustadz Sa’id hawwa Memberikan komentar:
1. Ahmad Syauqi berkata,”kawan kala berpolitik, musuh kala berkuasa.” Persaudaraan di kalangan anggota berbagai institusi politik tidak akan terjalin kokoh. Hal ini disebabkan persaingan sesame mereka untuk mendapatkan posisi maupun keuntungan materi. Memang, unsure materi jika memasuki suatu wilayah pasti akan merusaknya. Mengomentari hubungan persaudaraan semacam ini, sebagian mereka mengatakan,”musuh dalam selimut adalah sahabat terbuka.” Hal yang serupa dengan ini tidak mungkin mendasari tegaknya Islam dan tidak mungkin mewujudkan cita-citanya. Oleh karenanya, persaudaraan (ukhuwah) yag hakiki menjadi salahsatu rukun Bai’at.
2. Imam Hasan Al Banna menunjukkan kepada kita beberapa indicator, yang dengannya kita mengetahui adanya persaudaraan, yakni rasa cinta. Standar minimal dari rasa cinta ini adalah bersikap lapang dada sesama akhul muslim. Sedangkan standar maksimal adalah itsar (mementingkan orang lain atas diri sendiri) kepada sesama manusia atas urusan dunia, seperti pangkat dan kedudukan. Cinta tidak dapat terwujud dalam suatu barisan kecuali seseorang bersikap zuhud terhadap harta yang ada di tangan orang lain. Rasulullah bersabda:
“zuhudlah engkau terhadap dunia, niscaya Allah akan mencintaimu, dan zhudlah engkau terhadap harta yang berada di tangan orang lain, niscaya orang lain akan mencintaimu.
3. Tidak ada yang dapat melanggengkan ukhuwah kecuali taat kepada Allah dan menjauhi larangannya.
4. Tiada sesuatu yang mencegah runtuhnya Ukhuwah selain iman dan amal Shalih.
5. Musuh Allah Iblis sangat membenci terbangunnya Ukhuwah dan kasih sayang sesama da’i.[2]
Pengertian Ukhuwah
Bahasa
Kata Ukhuwah berakar dari kata akha. Misalnya dalam kalimat “akha Fulanun Shalihan” (Fulan menjadikan Shalih sebagai saudara). Selain kata ukhuwah, ada kata muakhah. Orang disebut akh anda, jika ia adalah orang yang mempunya hubungan persaudaraan dengan anda, baik saudara kandung, saudara seayah, saudara seibu, mapun saudara sesusuan.
Akh bisa juga berarti syarik (sekutu), muwasi (penolong), matsil (penyerupa), shahib mulazim (sahabat setia), atau akh seseorang bisa berarti pengikut pendapat seseorang. Kata akh juga dipakai secara umum untuk menyebut setiap orang yang menyertai orang lain, baik dalam cinta,pekerjaan maupun agamanya.[3]
Al Qur’an
Karena itu, ukhuwah menuntut seseorang untuk mengasihi saudaranya. Karena itulah Al Qur’an menyebutkan bahwa seorang nabi adalah akh bagi kaumnya dan bagi semua orang yang mereka dakwahi. Allah Swt berfirman :
Dan kami mengutus kepada kaum ‘Ad saudara mereka Hud. Ia berkata, ‘Hai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tiada Tuhan bagi kalian selain Dia.’” (Al-A’raf:73)
“Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum Tsamud, saudara mereka Shalih. Ia berkata kepada kaumnya,’Hai kaumku sembahlah Allah, Sekali-kali tidak ada Tuhan bagi kamu selain Dia.’” (Al-A’raf:73)[4]
Dalam beberapa ayat lain Allah Swt berfirman :
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (Ali Imran: 103)
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (Ali Imran:104)
Dua ayat diatas berurutan terdapat tuntutan-tuntutan yang harus dilaksanakan oleh orang-orang Muslim yang menjalin ukhuwah Islamiah, dengan ukhuwah ini mereka tolong-menolong untuk melaksanakan tuntutan tersebut, yaitu :
a. Berpegang teguh kepada tali Allah, yakni Al-Qur’an dan As-Sunnah, yang juga berpegang teguh kepada manhajnya
b. Menjauhkan diri dari perpecahan dan permusuhan dengan cara meninggalkan factor-faktor pemicunya.
c. Hendaklah hati kalian disatukan dengan mahabbah (cinta) karena Allah, sehingga dengan nikmat ini kalian menjadi orang-orang yang bersaudara.
d. Mendakwahkan kebaikan, memerintahkan yang ma’ruf dan mencegah kemungkaran.
Lalu ditegaskan oleh Allah Swt dengan firmannya:
“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (Al-Hujurat (49): 10)
Dijelaskan oleh Imam Qurthubi, maksudnya adalah ukhuwah dalam agama dan kesucian, bukan keturunan.”
Ibnu Katsir mengatakan,”Semuanya adalah saudara seagama, sebagaimana Rasulullah bersabda,’Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain; tidak menzhalimi dan mencelakakannya.’”[5]
As-Sunnah
“Janganlah kalian saling mendengki, saling najasy (menawarkan barang agar orang lain membeli dengan harga mahal), saling membenci, saling memusuhi, dan jangan membeli barang yang sedang di tawar orang lain. Hendaklah kalian menjadi hamba-hamba Allah yang bersaudara. Seorang Muslim saudara bagi muslim yang lain, tidak menzhalimi, tidak membiarkan (saat ia membutuhkan pertolongan) dan tidak menghinanya. Taqwa ada di sini (sambil menunjuk dadanya 3 kali).” (H.R Muslim dari Abu Hurairah ra)
“Seseorang sudah cukup disebut jahat apabila ia menghina saudaranya sesame Muslim. Darah, harta dan kehormatan setiap Muslim adalah Haram bagi Muslim lainnya.” (H.R Muslim dalam sahihnya bab: Tahrim Zhulm Al Muslim wa Khadzlih)
Banyak juga hadist-hadist semisal dengannya. Dari hadist diatas maka dapat kita ambil pelajaran bahwa yang dimaksud ukhuwah adalah :
a. Ia cinta karena Allah dan ketulusan hati seorang mukmin terhadap saudaranya sesame mukmin.
b. Ia adalah penghormatan seorang mukmin terhadap mukmin lainnya, baik pada saat berhadapan maupun di tempat yang jauh.
c. Ia adalah larangan mengabaikan apaun juga yang menjadi hak saudaranya
d. Ia juga berarti larangan memandangnya dengan pandangan merendahkan
e. Ia berarti larangan mendengki, menawar dengan harga tinggi untuk menipunya, membenci, memutuskan hubungan, membeli barang yang tengah di tawar, melamar lamarannya, menzhaliminya, menghinanya, membiarkannya di kala butuh pertolongan
f. Pengharaman atas darah, harta dan kehormatannya
g. Ia berarti tolong menolong salam melaksanakan kewajiban dan ketaqwaan, serta berdakwah menuju kebaikan
h. Ia berarti bersatu dan meninggalkan factor-faktor yang memicu terjadinya perpecahan
i. Ia berarti memelihara seluruh haknya (yakni dalam darah, harta dan kehormatannya)
j. Ia berarti melaksanakan kewajiban-kewajiban yang harus diberikan kepadanya tanpa di minta
k. Ia berarti mendahulukan kepentingan saudaranya dari kepentingannya sendiri.[6]
Menurut Orang Barat (Eropa)
1. Hubungan kekerabatan antara dua orang bersaudara seketurunan dengan hubungan kekerabatan karena satu Ibu dan satu Bapak.
2. Organisasi profesi untuk meningkatkan taraf hidup mereka
3. Organisasi keagamaan yang bertujuan meninggalkan gaya hidup materialistis, menjaga kehormatan diri, dan taat sepenuhnya. Mendapat pengesahan dari gereja tertentu yang mereka ikuti.
4. Organisisi social baik bersifat tertutup atau terbuka. Contohnya Freemansory dan Rotary Club. [7]
Standar Ukhuwah dan Syarat-syaratnya
Rasulullah bersabda:
“Seseorang bisa terpengaruh oleh agama sahabat karibnya. Oleh karena itu, perhatikanlah salah seorang diantara kamu dengan siapa ia bergaul.” (H.R Abu Dawud, Ahmad, Hakim dan Tirmizi, ia mengatakan hadist Hasan)
Dan Firman Allah Swtmemberikan batasan ukurannya melalui bahasa Nabi Musa As :
“dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku, (yaitu) Harun, saudaraku, teguhkanlah dia dengan kekuatanku, dan jadikanlah dia sekutu dalam urusanku, supaya kami banyak bertasbih kepada Engkau dan banyak mengingat Engkau. Sesungguhnya Engkau adalah Maha Melihat (keadaan) kami (Q.S Thaha (20): 29-35)
Maka standard an syarat-syarat ukuhuwah itu antara lain:
  1. Ukhuwah harus benar-benar murni karena Allah Swt.
“Diriwayatkan dari Abu Hurairah:” dari Rasulullah Saw beliau berkisah,’ sessunguhnya ada seseorang yang akan berkunjung ke tempat saudaranya yang berada di desa lain, kemudian Allah mengutus malaikat untuk mengujinya, setelah malaikat itu berjumpa dengannya, ia bertanya, “apakah kamu merasa berhutang budi sehingga kamu mengunjunginya?” Ia menjawab,” tidak, saya mengunjunginya dan mencintainya karena Allah.” Malaikat itu berkata,”Sesungguhnya saya adalah utusan Allah untuk menjumpaimu, dan Allah mencintaimu sebagaimana kamu mencintai saudaramu karena Allah.” (H.R Muslim)
  1. Ukhuwah harus disertai dengan iman dan taqwa, hal ini bisa dilakukan dengan memilih sahabat seiman dan memilih teman yang memiliki kualitas taqwa serta serta keshalihan di samping juga memiliki akhlak yang baik. Allah berfirman:
“Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang ang bertakwa.” (Q.S Az-Zukhruf (43): 67)
  1. Ukhuwah harus konsisten dengan ajaran Islam yang selalu merujuk pada Al Qur’an dan Sunnah serta jauh dari khurafat dan bid’ah. Rasulullah mengisyaratkannya dalam sebuah hadist:
“Dua orang lelaki yang saling menjamin persahabatan karena Allah mereka akan bersama dan berpisah atas dasar Allah.” (H.R Bukhari dan Muslim dari As-Sab’ah)
  1. Ukhuwah harus didasarkan pada saling memberi nasehat di jalan Allah. Konon sahbat Rasulullah juga saling menasehati diantara mereka dan berjanji kepada Nabi untuk saling menasehati. Diriwayatkan dari Bukhari dan Muslim dari Jabir dari Abdulllah Ra, ia berkata,”Aku berjanji kepada Rasulullah untuk melaksanakan shalat dan menunaikan zakat dan member nasehat kepada semua Muslim.”
  2. Ukuwah dibangun atas dasar saling membantu dan menyokong satu sama lain baik dalam suka maupun duka. Rasulullah bersabda:” perumpamaan seorang Mukmin dalam masalah mengasihi dan menyayangi satu sama lain diantara mereka adalah seperti satu tubuh, jika salahsatu anggota tubuh mengeluhkan rasa sakit maka yang lain akan mengeluh tidak bisa tidur dan panas.” (H.R Bukhari dan Muslim)[8]
Peringkat-Peringkat Ukhuwah Dalam Islam
A. Ta’aruf
Kata ta’aruf berarti saling mengenal sesame manusia. Misalnya kalimat Ta’arafu ila fulan artinya: saya meperkenalkan diri kepada si Fulan. Tidak termasuk dalam pengertian ta’aruf jika konteksnya membanggakan diri dengan garis keturunan, pangkat maupun harta. Karena itu semua bukanlah ukuran yang tepat untuk mengenal manusia, sebab ukuran yang benar adalah ketaqwaan kepada Allah swt.
Imam Ahmad meriwayatkan dengan sanadnya dari Durrah binti Abu Lahab ra (Istri Abdullah bin Umrah ra) yang berkata,
“seorang lelaki menghadap Rasulullah saw. Ketika beliau berada diatas mimbar. Ia bertanya,’Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling baik ? ia menjawab,’ manusia yang paling baik adalah yang paling banyak membaca Al-Qur’an, bertakwa kepada Allah Swt, memerintahkan yang ma’ruf, mencegah kemungkaran dan menyambung tali silaturrahmi.’”
Dan Allah swt berfirman :
“Hai sekalian manusia, sesungguhnya kami menciptakan kalian dari laki-laki dan perempun dan Kami jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia diantara kalian di sisi Allah adalah yang paling taqwa diantara kalian. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Al-Hujurat(49): 13)[9]
B. Ta’aluf
Ta’aluf berarti bersatunya seorang muslim dengan muslim lainnya, bersatunya seseorang dengan orang lain. Ta’aluf berasal dari kata ilf yang artinya persatuan.I’talafu an-nasu artinya orang-orang yang bersatu dan bersepakat.
Kata ulfah serupa dengan kata ilf memiliki makna kecintaan kepada Allah Swt, kepada orang-orang beriman yang hati mereka dipersatukan oleh Allah Swt. Allah berfirman:
ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara (Ali Imran (49): 13)
“walaupun kalian membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi , niscaya kalian tidak dapat mempersatukan hati mereka, tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka (Al-Anfal: 63)
Rasulullah Saw bersabda:
“Ruh-ruh itu disatukan ibarat tentara-tentara yang terkoordinasi; yang saling mengenal niscaya bersatu; sedangkan yang tidak saling mengenal akan berpisah.” (H.R Muslim dari Abu Hurairah)
“Orang mukmin itu mudah disatukan. Tidak ada kebaikan orang yang tidak bisa menyatu dan tidak bisa mempersatukan.” (H.R Imam Ahmad dalam musnadnya,III/400,al Halabi, Mesir, 1313 H)[10]
C. Tafahum
Hendaklah terjalin sifat Tafahum (saling memahami) antara seorang muslim dengan saudaranya sesam muslim, yang diawali dengan kesepahaman dalam prinsip-prinsip pokok ajaran Islam, lalu dalam masalah-masalah cabang yang perlu di pahami secara bersama. Adapun prinsip yang harus dipahami oleh setiap muslim adalah sebagai berikut :
a. Berpegang teguh hanya kepada aturan Allah.
b. Berpegang kepada tali Allah yaitu Al-Qur’an
c. Tolong-menolong dalam menaati Allah dan RAsulullah
d. Mengadakan Ikrar menolong agama Allah dan kebenaran
e. Berupaya menghilangkan sebab-sebab kedengkian[11]
D. Ri’ayah dan Tafaqud
Pengertian ri’ayah dan tafaqud adalah hendaknya seseorang muslim meperhatikan keadaan saudaranya agar ia bisa bersegera memberikan pertolongan sebelum saudaranya meminta, karena pertolongan merupakan salah satu hak saudaranya yang harus ia tunaikan.
Rasulullah bersabda:
“tidaklah beriman seseorang dari kalian sehingga ia mencintai untuk saudaranya sesuatu yang ia cintai untuk dinya.” (H.R Bukhari dan Muslim sanadnya dari Anas ra)
“Barang siapa menghilangkan kesusahan seorang muslim, niscaya Allah akan menghilangkan satu kesusahan di hari kiamat. Barangsiapa menutupi aib seorang musli,, niscaya Allah akan menutupi aibnya di hari kiamat. Allah selalu menolong seorang hamba selam dia menolong saudaranya” (H.R Muslim sanadnya dari Abu Hurairah)[12]
E. Ta’awun
Ta’awun berarti saling membantu. Allah Swt telah memerintahkan hamba-hambanya yang beriman untuk bantu-membantu dalam melaksanakan kebaikan dan disebut dengan kata al-birr meliputi hal-hal yang wajib dan mandub (sunnah) sedangkan taqwa berarti menjaga kewajiban. Allah Swt melarang orang-orang beriman untuk bantu membantu dalam kebatilan dan berbuat dosa.
Adapula yang mengatakan bahwa pengertian al-itsmu adalah meninggalkan apa yang diperintahkan Allah sedangkan al-‘udwan berarti melanggar apa yang dilarang Allah dalam agama-Nya.
Indikasi-indikasi ta’awun antara lain:
a. Ta’awun memerintahkan yang ma’ruf, mengamalkan kebaikan dan melaksanakan ketaatan sesuai dengan petunjuk Isam
b. Ta’awun meninggalkan kemungkaran, hal yang diharamkan bahkan hal yang makruh.
c. Ta’awun dalam mendekatkan dan mendorong manusia berada diatas kebenaran, menghubungkan mereka dengan petunjuk dan selalu berupaya merubah mereka sesuai dengan petunjuk Allah.
Rasulullah bersabda:
“Demi Allah, jika Allah memberikan hidayah kepada seseorang karena dakwah yang kau sampaikan kepadanya, sungguh hal itu lebih baik bagimu daripada unta merah.” (H.R Abu Dawud dari sanadnya Sahl bin Sa’ad ra)[13]
F. Tanashur
Masih sejenis dengan ta’awun tetapi ruang lingkupnya lebih lua, lebih menggambarkan cinta dan loyalitas. Tanashur dua orang yang berukhuwah dalam Islam antara lain maknanya adalah :
a. Seseorang tidak menjerumuskan saudaranya kepada sesuatu yang buruk atau dibenci, tidak membiarkannya tatkala ia meraih kemaslahatan yang tidak membahayakan orang lain.
b. Hendaklah mencegah seorang saudaranya dan menolongnya dari setan yang membisikkan kejahatan kepadanya dan dari pikiran-pikiran buruk yang terlintas pada dirinya untuk menunda pelaksanaan amal kebaikan.
c. Menolongnya menghadapi setiap orang yang menghalanginya dari jalan kebenaran, jalan hidayah dan jalan dakwah.
d. Menolongnya baik saat menzhalimi maupun saat dizhalimi. Menolong saat menzhalimi yakini dengan cara mencegahnya dari perbuatan zhalim, sedangkan menolong saat dizhalimi adalah berusaha menghindarkannya dari kezhaliman yang menimpanya.[14]
Dalam surat Al Hujurat (QS 49) Allah SWT memaparkan 7 kiat bagi kita untuk menangkal virus-virus ukhuwwah yang bisa menghancurkan shaf ukhuwwah yang telah dibina.

1.Tabayyun

Tabayyun berarti mencari kejelasan informasi dan mencari bukti kebenaran informasi yang diterima. Karena Allah SWT berfirman:

"Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasiq membawa berita maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu." (QS 49:6)

2. ‘Adamus Sukhriyyah

Artinya tidak memperolok-olokkan orang atau kelompok lain. Firman Allah SWT: "Wahai orang-orang yang beriman janganlah satu kaum memperolok-olokkan kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang memperolok-olokkan)." (QS 49:11)

Saat ini terdapat banyak kelompok atau organisasi dakwah. Harus kita sadari bahwa diantara kelompok-kelompok dakwah tersebut terdapat perbedaan yang prinsipil maupun yang tidak prinsipil. Perbedaan dalam menentukan al-hadaful a’la (sasaran tertinggi) termasuk dalam masalah prinsip.

Kondisi ini memancing suasana tanafus (persaingan) yang kadang bentuknya tidak sehat. Persaingan ini akan semakin tidak sehat dengan tampilnya oknum-oknum yang senang melontarkan ungkapan-ungkapan bernada cemooh persaingan.

Berhimpunnya kelompok-kelompok dakwah dan harakah yang ada di bumi sekarang ini adalah suatu mimpi indah. Sebagaimana yang ditulis DR.Yusuf Qardhawi, maka kesatuan wala’ (loyalitas) dan tumbuhnya suasana ta’awun dalam menghadapi konspirasi para thaghut adalah sesuatu yang tidak dapat ditawar lagi. Dan kalaupun hal ini belum terwujud karena ada beberapa hal yang belum bisa kita lakukan, maka tidak mampukah kita sekadar meninggalkan tradisi sukhriyyah dan perasaan ana khairun minhu (saya lebih baik daripadanya) seperti yang dinyatakan iblis???

3. ‘Adamul Lamz

Maksudnya tidak mencela orang lain. Ini ditegaskan dengan firman-Nya:

"Dan janganlah kamu mencela diri sendiri’. Mencela sesama muslim, oleh ayat ini dianggap mencela diri sendiri, sebab pada hakekatnya kaum muslimin dianggap satu kesatuan. Apalagi jika celaan itu adalah masalah status dan standar kebendaan. Allah sendiri menyuruh Rosul dan orang-orang yang mengikutinya untuk bersabar atas segala kekurangan orang-orang mukmin. (lLihat QS, 18:28).

4. Tarkut Tanabuz

Yakni meninggalkan panggilan dengan sebutan-sebutan yang tidak baik terhadap sesama muslim. Ini berdasarkan firman Allah SWT:

"Dan janganlah kamu saling memanggil dengan sebutan-sebutan (yang buruk)." (QS 49:11)

Tanabuz dalam bentuk yang paling parah adalah berupa pengkafiran terhadap orang yang beriman. Pada kenyataannya masih saja ada orang atau kelompok yang dengan begitu mudahnya menyebut kafir kepada orang yang tidak tertarik untuk masuk ke dalam kelompok tersebut.

5. Ijtinabu Katsirin minadzdzan

Allah SWT berfirman:

"Wahai orang-orang yang beriman jauhilah kebanyakan dari prasangka, karena sebagian prasangka itu dosa." (QS 49:12)

Pada dasarnya seorang muslim harus berbaik sangka terhadap sesamanya, kecuali jika ada bukti yang jelas tentang kesalahan tersebut. Dan sebaliknya, kepada orang kafir dan musuh Islam, kaum muslimin harus menaruh curiga bila mereka bermanis budi. Allah SWT sendiri menegaskan:

"Sesungguhnya orang-orang kafir menginfakkan harta-harta mereka untuk mengahalangi manusia dari jalan Allah." (QS 8:36)

6. Adamut Tajassus

‘Adamut Tajassus adalah tidak mencari-cari kesalahan dan aurat orang lain. Perbuatan ini amat dicela Islam. Setiap cara da'wah ada metodenya masing-masing, yang berusaha semaksimal mungkin mendekati cara berda'wah Rasulullah SAW. Allah SWT amat suka bila kita berusaha menutup aib saudara kita sendiri. Firman Allah SWT:

"Dan janganlah kamu sekalian mencari-cari kesalahan (dan aurat) orang lain." (QS 49:12)

7. Ijtinabul Ghibah

Allah SWT menegaskan:

"Dan janganlah kamu sekalian menggunjing sebagian lain.Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati?…"

Ghibah sebagaimana yang dijelaskan Rasulullah SAW adalah menceritakan keburukan dan kejelekan orang lain. Ketika seseorang menceritakan kejelekan orang lain, maka ada dua kemungkinan yang terjadi. Pertama, jika yang diceritakannya benar-benar terjadi maka itulah ghibah. Kedua, jika yang diceritakannya itu tidak terjadi berarti ia telah memfitnah orang lain. Begitu besarnya dosa ghibah, sampai Allah SWT menyamakan orang yang melakukannya dengan orang yang memakan bangkai saudaranya sendiri.[15]


[1] Sa’id Hawwa, Membina Angkatan Mujahid Cetakan Kelima(Solo: Era Intermedia, 2005), hal. 176
[2] Ibid., hal. 176-177
[3] Dr. Ali Abdul Halim Mahmud, Merajut Benang-benang Ukhuwah Islamiah Cetakan Pertama (Solo: Era Intermedia, 2000), hal. 25
[4] Ibid., hal. 25-26
[5] Ibid., hal.27-28
[6] Ibid., hal. 28-30
[7] Ibid. hal 26
[8] Dr. Majdi Al Hilali, Rakaizud Dakwah, Konsep Dasar Gerakan Dakwah Cetakan Pertama (Surakarta: Media Insani Press, 2003), hal. 162-166
[9] Dr. Ali Abdul Halim Mahmud, Op.cit hal. 31-32
[10] Ibid., hal. 32-33
[11] Ibid., hal-32-36
[12] Ibid., hal. 36-38
[13] Ibid., hal. 38-40
[14] Ibid., hal. 40
[15] Hudzaifah.org Sunday, December 18, 2005 - 02:34 PM

Rabu, 30 Juli 2008

URGENSI SYURO DAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN




Makalah Daurah Kaderisasi II UKMI Ar-Royyan UNRI, Ahad 27 Juli 2008
Muqaddimah
“ Tidak keliru yang istikharah, dan tidak rugi yang bermusyawarah.....” (al Hadits)
Kedewasaan Sikap
Kedewasaan baik secara individu ataupun kolektif, sangat ditentukan oleh sebuah kata yang bernama sikap. Kematangan ditentukan oleh baik-buruknya sikap yang ditunjukkan dalam menghadapi persoalan dan tantangan. Dalam hal ini, dunia politik merupakan wilayah yang kontradiktif: di satu sisi kita dituntut untuk sangat dewasa, namun di sisi lain kedewasaan dalam penyikapan adalah suatu hal yang luar biasa sulit. Resikony sangat besar, tantangannya sangat banyak, dan persoalannya sangat memusingkan. Tapi inilah yang menjadi ajang eliminasi politisi, pemimpin, dan sebuah pergerakan.
Penilaian akan mutu sebuah penyikapan politis adalah hasil measure iindikator-indikator ketepatan, efektivitas, dan konsistensi dari sikap yang diambil tersebut.
Ketepatan berkaitan dengan momentum, situasi, tempat, orang, dan iklim penerapan keputusan tersebut. Ini adalah sebuah kolaborasi yang indah dari kebenaran dan presisi.
Efektivitas terkait langsung dengan ketepatan, namun lebih banyak berbicara bagaimana mewujudkan sebuah keputusan yang tepat menjadi realita. Dan ia terkait dengan hal-hal teknis[1].
Konsistensi, merupakan garis batas yang dengan tegas memisahkan antara idealisme dan pragmatisme. Membangun sebuah konsistensi merupakan upaya yang sulit, mengingat keputusan tidak selamanya tepat atau langsung tepat.
Nilai Kebenaran
Kebenaran yang menjadi isi pokok sebuah keputusan sangat terkait dengan referensi, metoda dan proses. Mengenai referensi, kita tidak akan pernah ragu untuk selalu mengedepankan syari’ah: Al Qur’an dan Sunnah. Dalam pada itu, metode yang kita terapkan adalah ijtihad. Ijtihad yang “luas”, tidak jumud. Ijtihad yang mampu menampung dan memadukan dua hal sekaligus : “fiqh wahyu” dan “fiqh waqi’” (realitas). Ijtihad pada hakikatnya adalah mengejawantahkan kebenaran wahyu dalam kebenaran realitas. Maka titik tekan ijtihad kita adalah mashlahat, seperti kata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah: “di mana ada kemashlahatan bagi manusia, di sana pasti terdapat syari’at Allah SWT”.
Perlu diingat bahwa tolak ukur kemashlahatan sangat relatif, abstrak, intangible. Namun ia dapat dikira-kira, diasumsikan dengan berbagai data, fakta-fakta, pertimbangan, dan perimbangannya dengan idealita yang kita maksudkan. Sehingga zhann yang kita anut adalah asumsi yang rajih, kuat.
Setelah selesai urusan referensi dan metode, elemen akhir yang terdapat dalam rahim kebenaran adalah proses yang tepat. Ini sekaligus berbicara tentang lembaga pengambilan keputusan itu sendiri. Inilah yang kita sebut dengan syuro. Kemashlahatan yang menjadi tujuan harus melalui asumsi dasar yang kuat, merujuik kepada realitas , rasionalitas dan idealitas. Tentu saja akal kolektif lebih baik dari akal individu. Seperti dikatakan Rasul SAW, “Tidak keliru yang istikharah, dan tidak merugi yang bermusyawarah”
Resiko Syuro
Namun “ber-syuro” tidaklah segampang membalikkan telapak tangan. Resiko politis setiap keputusan sangat layak menjadi pertimbangan. Tugas pokok syuro untuk mendefinisikan mashlahat ‘ammah atau mudharat yang sifatnya asumtif, membuatnya tak lepas dari resiko kesalahan, atau kebenaran yang tidak bertahan lama. Syuro yang tidak bermutu, akan kehilangan ketepatan dan hikmah yang merupakan syarat dasarnya.
Syarat Syuro yang Benar
Sebagai upaya untuk meminimalisir kesalahan tersebut, para pendahulu kita dari generasi terbaik umat ini telah mencontohkan bagaimana syuro yang benar, dan jika kita lihat makna implisit tersebut ada tiga poin yang bisa dijadikan pegangan.
Pertama, sumber informasi yang jelas, lengkap, tepat, akurat. Informasi yang setengah-setengah akan merancukan sikap dan mengacaukan analisa. Kedua, kedalaman ilmu anggota syuro yang memadai. Inilah yang ditekankan oleh para ulama, karena ilmu dan kepahaman akan menentukan mutu analisis, pikiran, dan gagasan peserta syuro. Perlu diingat, ilmu bukan sekedar wawasan, tapi kepahaman dan didukung juga oleh rajahatul ‘aql (dominasi akal atas emosi), sehingga ide yang timbul kemudian tidak reaktf dan meledak-ledak. Ketiga, tradisi ilmiah dalam menyikapai perbedaan.
Ketiga faktor inilah yang kemudian menentukan fungsi instrumental syuro sebagai alat pengambil keputusan
Namun dibalik itu, syuro masih punya satu sisi lain; sisi psikologis, yang jika tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan perpecahan yang kontraproduktif dalam syuro. Sisi inilah yang di atas kita maksudkan dalam tradisi ilmiah, bagaimana syuro menjamin kemerdekaan setiap pesertanya untuk berekspresi secara wajar dan apa adanya.
sikap tidak melanggar adab majelis, kekanak-kanakan, apriori, ngotot, ngambek, dan menyudutkan, akan memancing peserta syuro lain untuk diam, tidak nyaman, dan tentu saja memecah ukhuwah yang akan menimbulkan keretakan dalam kehidupan berjama’ah.[2]
Pengertian Syuro
Secara bahasa terdiri dari tiga padanan kata SYURA; sesuatu yang wajib ditepati. ISTISYARAH; meminta pendapat. MASYURAH; memberikan pendapat. Sehingga secara bahasa dapat diartikan sebagai proses meminta dan memberikan pendapat, apabila sudah diambil sebuah keputusan maka kedua belah pihak wajib menepati dan melaksanakan semua keputusan tersebut dengan rasa tanggungjawab.
Syura juga berasal dari kata syara al-‘Asal, yang artinya ‘madu itu dibersihkan.’ Syurrat Ad-Daabah maknanya ‘engkau menarik seekor ternak untuk mengetahui atau menguji kekuatannya.’ Maka Asyura ialah menarik pendapat yang beragam dan berbeda-beda, lalu mengujinya untuk mendapatkan pemikiran yang lebih baik dan utama untuk dilaksanakan.[3]
Secara hukum syura berarti mencari kebenaran melalui kesungguhan dan kerja keras, komitmen terhadap manhaj Allah dengan tujuan meningkatkan ketakwaan.[4]
Secara Istilah ada empat padanan kata Syuro yaitu; tasyawur, masyurah, syura, istisyarah.
a. Tasyawur
Istilah ini lebih luas dari dan umum dari istilah lainnya, yaitu setiap dialog bebas diantara individu atau jamaah terhadap suatu masalah yang membutuhkan ketetapan.[5]
b. Masyurah
Pendapat yang dikemukan oleh seorang alim atau ahli fiqih (faqih) baik sendirian ataupun bersama-sama dalam urusan agama yang lebih sempit yang dinamakan fatwa.[6]
c. Syuro
Adalah arti sempit dari tasyawur yang menjadi suatu jalan untuk mendapatkan solusi dan keluarnya ketetapan jamaah mengenai berbagai urusan dalam jamaah yang bersifat umum.[7]
d. Istisyarah
Pendapat yang dikemukakan oleh seorang alim atau ahli Fiqih (Faqih) baik sendirian ataupun bersama-sama dalam urusan-urusan muamalah baik berupa urusan politik, social ataupun militer. [8]
Urgensi Syura
1. Mengaplikasikan salahsatu sifat orang-orang beriman:”Dan mereka bermusyawarah atas urusan mereka,”
2. Komitmen atas kewajiban Islam. “karena itu maafkanlah mereka, mohon ampunkanlah bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.” (Ali Imran: 159)
3. Mengaplikasikan system Islam dan keunggulannya dalam kehidupan individu dan jamaah.
4. Mengajar jamaah, mendidik umat dan mempersiapkan mereka untuk menata kehidupan manusia kepada jalan yang lurus, serta mampu memikul tanggungjawab.
5. Menghindari terjadinya sifat otoriter dalam proses pengambilan keputusan penting yang memiliki pengaruh signifikan dalam masyarakat.
6. Adanya ketenangan atas semua orang bahwa mereka berada di atas jalan yang lurus. [9]
Hukum Syuro (Batasan dan Sifat-Sifat Syuro)
Landasan dalam Alqur’an
Prinsip Syuro ada dalam Alqur’an baik pada periode Makkiyah dan Madiniyyah. Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa syuro berlaku pada setiap periode dan kondisi dakwah baik pada masa pertumbuhan ataupun masa perkembangan dan stabil. Beberapa ayat Al Qur’an yang menunjukkan hal ini akan adalah sebagai berikut :
a. Ayat Makkiyah, Surat Asy-Syura: 38
“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah diantara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada Mereka”
b. Ayat Madaniyah, Surat Ali Imran: 159
“Maka disebabkan rahmat dari Allahlah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu, …”
Dari kedua ayat yang mulia ini tampak sejauhmana Al Qur’an memperhatikan terhadap penetapan mabda’ Syura. Allah mewajibkan sejak dakwah Islam di mulai di Mekah sebagai manhaj dalam rangka mendirikan masyarakat Islam dan sebagai Kaidah system social dalam Islam. Kemudian Al Qur’an mengulangi pengukuhan mabda ini di Madinah, setelah kaum Muslimin mempunyai Negara yang merdeka. Pada saat itu Syura dijadikan fondasi sistem pemerintahan atau sistem konstitusional.
Tinjauan Kedua Ayat Secara Umum :
1. Salah satunya turun di Mekah dan salahsatunya sturun di Madinah. Dalam hal ini ada isyarat yang jelas mengenai keuniversalan mabda syura bagi setiap manajemen masyarakat Islam di seluruh tahapannya, bagaimanapun kondisinya tempatnya dan hubungan dengan masyarakat lain, demikian pula baik jamaah itu sekedar golongan minoritas tertindas ataupun mayoritas yang diatur oleh suatu Negara merdeka.
2. Ayat pertama yang ditujukan kepada kaum Muslimin umumnya sebagai individu-individu di dalam masyarakat dan menuturkan sifat-sifat mereka serta cirri-ciri khas yang membedakan masyarakat mereka. Yaitu
a. Kesatuan Aqidah dan Ibadah
b. Kegotongroyongan dalam berbagai urusan mereka yang bersifat umum melalui musyawarah, tukar pendapat dan jaminan dalam infak, serta segala macam yang dimaksud dalam hal tersebut baik seperti solidaritas mereka dan kemananggulan mereka atas dasar kebebasan yang sempurna dan persamaan yang adil.
Adapun Firman yang kedua ditujukan kepada Rasulullah setelah berhasil mendirikan negaranya yang merdeka di Madinah dengan pimpinan beliau. Ayat kedua ini memerintahkan kepada beliau, sebagai kepala Negara yang baru berdiri sekaligus sebagai penguasanya, agar syura dimana individu-individu telah terdidik sebelum didirikan Negara, menjadi dsar hubungan penguasa dengan rakyat dan individu masyarakat, kendatipun penguasa itu adalah seorang nabi yang diutus dan menerima wahyu dari langit.[10]
Pelajaran dari Surat Asy-Syura
1. Diturunkannya surat ini di Mekah sebelum Hijrah dan sebelum didirikan Negara Islam mempunyai tujuan bahwa syura merupakan salah satu sifat istimewa bagi kaum muslimin. Disamping percaya kepada Allah, mendirikan shalat dan saling menjamin dalam infak. Hal ini menjadikan mabda syura merupakan fondasi pendidikan social bagi individu-individu berikut berbagai macam prakteknya, menjadi wajib atas mereka dalam semua kondisi. Sehingga seandainya tidak ada manajemen politik, pemerintahan ataupun Negara, syura tetap berlaku.
2. Syura sebagai sifat ketiga bagi masyarakat Islam, dituturkan setelah iman dan shalat. Hal ini memberikan pengertian bahwa syura mempunyai martabat sesudah ibadah terpenting, yaitu shalat, sekaligus memberikan pengertian bahwa syura merupakan salah satu ibadah yang tingkatannya sama dengan shalat dan zakat. Maka masyarakat yang mengabaikannya dianggap sebagai masyarakat yang tidak menetapi salah satu ibadah. Sebagaimana dituturkan sebelum infak menjadikannya sebagai dasar bagi hubungan harta, ekonomi dan kerjasama dalam infak atas berbagai kepentingan umum dan penghidupan masyarakat. Hal ini dipahami dari nash ayat. Karena pronomina (kata ganti) yang dipakai kembali kepada orang-orang yang memenuhi panggilan Tuhan mereka, yaitu jamaah Muslimin. Sedangkan perkara yang wajib dikerjakan dengan syura ialah perkara jamaah ini, yang mencakup segala urusan mereka. Jadi artinya,” dan segala urusan mereka itu dimusyawarahkan diantara mereka.”
3. Ketika diturunkan ayat ini kaum muslimin masih merupakan individu-individu yang hanya disatukan dengan kalimat,”bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya.” Sementara mereka berkumpul untuk menunaikan shlat dalam keadaan takut dan khawatir. Maka Allah menghendaki agar musyawarah dan tukar pendapat diantara mereka sebagai permulaan perjalanan untuk mewujudkan masyarakat baru yang berbeda dengan masyarakat jahiliyah.[11] Selain itu, agar mabda syura merupakan subatansi utama masyarakat ini dalam tahapan pengadaannya, dan yang pertama-tama yang harus ditepati oleh individu-individunya dalam fase tarbiyah dan pengaderan supaya mereka menjadi benih umat Islam yang memiliki solidaritas, gotong-royong dan saling menolong.
4. Ungkapan dalam ayat ini bersifat umum, yang dimaksud adalah keseluruhan jamaah dengan segenap individu, golongan, kelas dan organisasinya. Bukan hanya para penguasa semata-mata. Ini suatu bukti bahwa umatlah yang diwajibkan menepati syura, dan umat harus menekannya pada para penguasa yang telah mereka pilih untuk mengatur urusan mereka. Jadi, berpacu menegakkan syura harusnya datang dari individu-individu umat dan khalayak. Tidak cukup hanya menunggu para penguasa sampai mereka menyelenggarakannya. Dengan demikian syura merupakan tanggungjawab bersama seluruh pribadi masyarakat. Dosa yang disebabkan tidak mempedulikannya akan menimpa kepada umat secara keseluruhan.
5. Menemukan syura sebagai fondasi untuk mewujudkan jamaah yang baru ini. Belum mempunyai Negara dan system politik, sebenarnya menjadikan tukar pendapat dan peran serta positif bagi setiap individu mengenai urusan-urusan jamaah dan seluruh masalahnya sebagai tali hubungan yang kokoh yang menyambung antara jamaah dengan individunya dan menjadi dasar keanggotaan dan loyalitas mereka kepada masyarakat itu. [12]
Beberapa Pelajaran dari Surat Ali Imran
1. Ayat ini ditujukan kepada Rasulullah yang mulia, yang Allah telah memilihnya untuk menyampaikan risalah-Nya. Rasul yang menerima perintah-perintah dan pengarahan-pengarahan ilahiyah melalui wahyu Al Qur’an. Kendati syura belum dibutuhkan karena wahyu telah menjamin, membimbing dan mengarahkankannya, namun Allah Swt berkehendak menjadikannya ikutan, dan menjadikan syura sebagai peraturan yang diwajibkan atas generasi-generasi berikutnya, dan atas orang-orang yang dating sesudah mereka, yaitu mengatur berbagai urusan kamum muslim, yang lebih membutuhkan syura dari beliau, karena tidak menerima wahyu dari langit.
2. Ayat ini turun setelah perang Uhud. Para ahli tafsir dan Sejarah Nabi telah bersepakat bahwa Rasul Saw benar-benar bermusyawarah dengan para sahabat sebelum berperang. Beliau berpendapat tidak usah keluar dari kota Madinah dan bertahan di Madinah, karena ketentuan itu memungkinkan mereka menghancurkan pihak penyerang dengan mudah. Tetapi mayoritas sahabat, karena dorongan semangat, menekankan agar keluar dari Madinah untuk menghadapi musuh supaya tidak ditafsirkan mereka takut menghadapi musuh lantaran tidak keluar. Maka Rasulullah Saw menuruti usulan mayoritas. Kebetulan hasil pertempuran itu malapetaka bagi kaum Muslimin, maka orang-orang khawatir dan menduga bahwa hal itu akan menjadi sebab Rasulullah Saw tidak mau lagi bermusayawarah dan tidak mau lagi menyetujui pendapat mereka[13] Oleh karena itu maka datanglah nash ayat yang mulia untuk menghilangkan keraguan ini dengan mewajibkan Rasulullah agar mengampuni apa yang terjadi dari kelompok terbanyak dan agar terus menjalankan musyawarah dan konsisten dengannya. Nashnya pun tegas dan mantap karena datang dalam bentuk perintah dan menetapkan. Yaitu firman Allah;” bermusyawarahlah dengan mereka tentang perkara tertentu.”
3. Ayat ini tidak hanya menjadi dasar kewajiban bagi Rasulullah Saw menetapi syura, tetapi juga memiliki pengertian bahwa seluruh generasi yang datang sepeninggal beliau agar berjalan atas metode beliau dalam hal menetapi prinsip syura, sebagai Sunnah Nabi yang tetap di samping syura sebagai mabda’ Al Qur’an dengan nash yang tegas. Dengan demikian, syura menjadi fondasi setiap system yang berorientasi kepada Islam atau menegakkan syiarnya ataupun menetapi syariatnya, baik system politik, ekonomi, sosial dan lainnya.[14]
Landasan dalam Sunnah
1. Rasulullah saw meminta saran dan pendapat sahabat-sahabatnya dalam menerima tawaran tebusan tawanan Badr.
2. Dalam perang khandaq (ahzab), Rasulullah saw bermusyawarah dengan Sa’ad dalam proses perjanjian damai dengan suku Ghathafan dengan balasan setengah hasil kebun kota Madinah.
3. Rasulullah saw juga bermusaywarah dengan pasukannya dalam kasus pembagian ghanimah (harta rampasan perang) Hawazin seusai perang Hunain. Ketika itu, utusan dari Hawazin dating kepada Rasulullah saw untuk meminta jatah ghanimah. Beliau melontarkan masalah ini kepada para pahlawan perang untuk dimusyawarahkan. Beliau menyatakan persetujuannya yang diikuti kaum Muhajirin dan Anshar. Namun tidak disetujui oleh al-Aqra’ bin Habis dari bani Tamim dan al-Abbas bin Mirdas dari bani Salim. Rasulullah berkata kepada utusan tersebut, “Sesungguhnya kami tidak tahu siapakah yang mengabulkan permintaan kalian diantara orang-orang yang tidak menyetujuinya.kembalilah kalian sehingga pemimpin kalin membicarakan hal ini kepada kami. Merekapun kembali dan menyampaikan keputusan tersebut kepada pemimpin mereka. Setelah itu kembali kepada Rasulullah saw dan menyampaikan padanya bahwa pemimpin mereka menyetujui keputusan itu.”(Fathul Bari, Syarah Shahih Bukhari)
4. Rasulullah saw bermusyawarah dengan para sahabatnya dalam menentukan cara mengajak kaum Muslimin untuk menunaikan shalat. (lihat kisah awalnya adzan dikumandangkan)
5. Beliau juga bermusyawarah dalam masalah peperangan, kesepakatan pembagian ganimah, perkara social politik. Seluruh masalah ini adalah unsur-unsur mendasar bagi sebuah Negara Islam.[15]
Landasan contoh Syura Khulafaur Rasyidin
1. Abu Bakar bermusyawarah dengan para sahabat tentang warisan seorang nenek, dan ketika Mughirah bin Syu’bah mengatakan bahwa ia pernah mendengar hukum tentang hal itu dari Rasulullah saw yang disaksikan oleh beberapa orang sahabat, Abu Bakarpun mengikuti nash tersebut.
2. Tatkala beberapa sahabat mengusulkan perlunya penentuan gaji Abu Bakar sebagai Khalifah, masalah inipun kemudian dilontarkan kepada sahabat lainnya dan ahlul masjid yang selanjutnya menyepakati gaji beliau sebesar 3 dirham perhari.
3. Umar bin Khattab bertekad untuk memimpin pasukan perang kaum Muslimin menuju Persia dan mengajukan keinginan tersebut untuk dimusyawarahkan, ternyata mayoritas kaum Muslimin menginginkan agar beliau tetap di Madinah dan diwakili oleh Sa’ad bin Abi Waqqash.
4. Umar Ra juga meminta saran dan masukan kepada para sahabat tentang hukuman bagi peminum Khamr dan keinginannya untuk memperberat hukuman itu dengan 80 kali cambukan.
5. Umar bin Abdul Aziz membentuk suatu badan Majlis Syura yang terdiri dari 77 orang dari kalangan fuqaha, ulama dan hakim dan ia tidak memutuskan satu perkarapun selain meminta izin kepada mereka.[16]
System Pengambilan Kebijakan di dalam Dakwah adalah :
1. Syura
2. Hurriyah (kebebasan)
3. Musawah (persamaan)
4. ‘adl (Adil)
5. Ta’ah (Ketaatan)
6. Amar Ma’ruf Nahyi Mungkar (memerintahkan kebajikan dan mencegah kemungkaran)[17]
Bahaya Otoriter dan Individualis
Pengertian Otoriter dan Indiviualis
Secara terminology, otoriter berarti menguasai atau mendominasi. Sifat otoriter dan Individualis dalam menetapkan keputusan ibarat dua sisi mata uang. Keduanya saling mendukung satu sama lain. Maka, sifat otoriter menimbulkan perilaku individualis dalam pengambilan keputusan atau kebenaran opini dan pendapat hanya ada pada dirinya saja. Kandungan hikmah, kelurusan dan kebenaran hanya yang terucap dari mulutnya.[18]
Fir’aun Contoh Konkrit Sifat Otoriter dan Individualis
Hal ini termaktub dalam Al Qur’an Surat Al Mukmin:29
“(Musa berkata),’Fir’aun berkata,”Aku tidak mengemukakan kepadamu, melainkan apa yang aku pandang baik dan aku tiada menunjukkan kepadamu selain jalan yang benar.”
Apakah Sifat Otoriter Warisan atau Muktasab (Perolehan)
Tidak ada bukti empiris sifat otoriter diturunkan secara keturunan. Walaupun keturunan orang yang otoriter berpeluang sangat besar menjadi otoriter. Namun ada banyak hal yang membuktikan bahwa sifat ini lebih berpeluang sebagai akhlak muktasab bila orang itu hidup di tengah lingkungan yang demikian otoriter.
Setiap orang pada dasarnya tidak mempunyai sifat otoriter, namun ia mendapatkannnya dari-teman-teman selingkungannya. Sifat otoriter ini juga bisa muncul dari system manajemen yang ekslusif, sehingga ia merasa dialah pemegang kekuasaan sepenuhnya. Merasa memiliki pendapat yang paling benar yang harus diterima semua pihak. Sehingga timbullah sikap despotisme (kesewenang-wenangan) secara perlahan sifat otoriternya akan semakin mengental, hingga sampai merasa ia paling benar dan setiap orang yang menentang lari dari kebenaran dan harus dihabisi. Akhirnya ia menjadi tiran. Seperti Fir’aun yang dinyatakan oleh Allah Swt dalam AlQur’an :
“Maka, Fir’aun mempengaruhi kaumnya (dengan perkataan itu) lalu patuh kepadanya.” (Az-Zukhruf: 54)[19]
Bahaya Otoriter dan Individualis
1. Walaupun seseorang diberi akal yang cerdas dan cemerlang, maka akan selalu ada sesuatu yang tidak diketahuinya. Bila ia tetap mempertahankan pendapatnya yang mengandung kelemahan dan kekurangan serta akibat buruk, maka sikap otoriter seperti itu akan menimbulkan bencana bagi orang lain.[20]
2. Seseorang yang selalu ingin pendapatnya diterima dan bersikukuh mempertahankannya, secara perlahan akan menjelma menjadi sosok tiran dan otoriter, sehingga ia menyerupai Fir’aun dimana sifatnya itu membuatnya berkata, “Akulah tuhanmu yang maha tinggi.” Atau berkata seperti apa dikatakan tiran besar ini kepada para penyihirnya yang sujud dan berserah diri kepada Allah Swt, setelah melihat mukjizat Nabi Musa yang diberikan Allah Kepadanya. “kalian beriman kepadanya sebelum aku mengizinkan kalian untuk itu ?”
Ia pun akhirnya mengancam akan memotong kaki dan tangan mereka secara bersilang dan menyalibnya di batang pohon korma. Ia semakin menunjukkan ketiraniannya seraya berkata,”Dan kalian akan mengetahui siapakah diantara kita yang lebih pedih dan lebih kekal siksanya.”[21]
3. Munculnya pendapat Individualis dan otoriter akan melumpuhkan kekuatan akal orang lain, kemampuannya dalam berpikir dan lenyapnya daya saring terhadap berbagai pendapat yang beragam. Inilah yang menyebabkan hilangnya daya pikir kreatif, inovatif, lurus dan bermanfaat di tengah masyarakat. Inilah kerugian besar yang menimpa umat ini setelah kebaikan-kebaikan itu semakin punah.[22]
4. Sebagian orang merasa tidak perlu ada loyalitas terhadap masyarakat di mana kita berada. Itu menyebabkan terjadinya penyimpangan dan kerusakan perilaku pada sebagian mereka, yang menyebabkan munculnya bencana besar di tengah mereka.[23]
5. Kesibukan manusia pada hal-hal yang sekunder dan remeh-temeh menyebabkan munculnya kekosongan jiwa. Ini adalah awal bencana dan malapetaka. Sifat otoriter dapat terjadi pada seseorang, kelompok, atau partai tertentu, maka bisa dikatakan sebagai dictator pribadi, partai atau kelompok. Sebagaimana disebut sebagai dictator proletar (dalam kalangan pekerja).[24]
6. Apabila hasil yang diperoleh dari sebuah keputusan yang tidak terbantahkan itu buruk, maka cemoohan, makian dan hinaan mengarah pada satu titik, yaitu pemilik opini tersebut. Hal itu akan mengakibatkan hilangnya kepercayaan setiap orang padanya, sehingga ia tidak mampu mengawasi segala aktivitas yang berada di bawah kepemimpinannya.[25]
Cara menjauhkan Diri dari Sifat Diktator dan Individualis
1. Merupakan tanggung masyarakat seluruhnya untuk menterapi penyakit ini
2. Menyadari bahwa kisah akhir dari para tiran adalah kisah yang tragis
3. Mengikuti manhaj Islam dan selalu musyawarah dalam pengambilan semua keputusan dan menganggapnya sebagai kewajiban kepada Allah Swt.[26]
Mengelola Ketidaksetujuan Terhadap Hasil Syuro
Terakhir, mari kita berbicara tentang ketidaksetujuan terhadap hasil syuro. Seringkali kita menghadapi keadaan di mana keinginan pribadi bertentangan dengan hasil syuro. Pendapat yang kita yakini bertolak belakang dengan syuro. Ini adalah ujian yang menuntut keikhlasan dan kesabaran ekstra. Sangat tidak mengenakkan untuk tunduk dan patuh pada keputusan yang tidak sejalan dengan kita.
Namun ada beberapa hal yang mesti kita perhatikan :
· Apakah benar kita telah menguji pendapat kita secara ilmiah, atau itu hanya lintasan pikiran?
· Kalau kita berani jujur, apakah pendapat kita adalah obsesi pribadi jiwa kita, atau memang kebenaran objektif? Apakah kita menganggap diterima atau tidaknya usulan kita sebagai sebuah hal menang-kalah?
· Seandainya kita memang percaya benar akan niat dan ketepatan perkiraan kita secara ilmiah, maka ingatlah; “mempertahankan kesatuan dan keutuhan shaff jama’ah jauh lebih utama daripada memenangkan pendapat yang amat tepat sekalipun.
· Sesungguhnya dalam ketidaksetujuan ada pelajaran berharga tentang keikhlasan, makana iman, tajarrud dari hawa nafsu, makna ukhuwah dan persaudaraan, makna tawadhu’ dan kerendahan hati, dan makna tsiqoh kepada jama’ah. Seperti kata Imam Syafi’i; “Pendapatku benar, tapi ada kemungkinan salah. Dan pendapat mereka salah, tapi bisa jadi benar...”[27]
Sesungguhnya perbedaan adalah kekayaan dalam hidup berjamaah, menikmatinya berarti meneguk kekayaan tersebut. Dan jikalau ada kesalahan dalam keputusan, maka kesalahan itu akan dapat direduksi, mudah diketahui sebab-sebabnya, ditanggung bersama, tidak menyebabkan kelemahan kolektif, dan itu lebih diridhoi oleh Allah SWT.
“Wahai orang-orang beriman, bersabarlah...,dan bersabarlah, dan bersatulah agar kamu menjadi kaum yang menang” (QS Ali Imran ; 200)
Pentingnya Amal Jama’I dalam setiap melakukan Pekerjaan
Pentingnya peranan Syura memberikan penekanan penting bagi kita untuk melakukan amal Jamai antara Qiyadah dan jundiah dalam suatu Jamaah Dakwah. Unsur-unsur yang ditekankan pada amal Jamai itu adalah berlandasaskan keimanan, amal shaleh dan saling menasehati dalam menetapi kebenaran dan kesabaran. Sebagaimana yang dijelaskan firma Allah:
“Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat-menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (Al-’Ashr : 3)
Wallahu’alam


[1] Mengenai efektivitas, saya ingin menambahkan bahwa hal ini terkait erat dengan efisiensi. Efektifitas dalam kaidah bahasa Indonesia dinamai mangkus; berhasil-guna berbicara tentang efek, hasil yang diraih. Sedangkan efisiensi adalah sangkil; berdaya-guna. Titik tekannya adalah pemberdayaan potensi seoptimal mungkin. Mencapai sasaran dengan akurat dan telak.
[2] M.Anis Matta, Menikmati Demokrasi Cetakan kedua (Jakarta:Pustaka Saksi,2007), hal. 85-88
[3] Prof. Dr. Taufik Yusuf Al-Wa’iy, Kekuatan Sang Murabbi Cetakan Kedua (Jakarta: Al-I’tishom Cahaya Umat, 2004), hal. 149.
[4] Ibid,.
[5] Dr.Taufiq Asy-Syawi.Syura Bukan Demokrasi Cetakan Pertama (Jakarta: Gema Insani Press,1997), hal. 130
[6] Ibid,hal. 131
[7] Ibid
[8] Ibid
[9] Prof. Dr. Taufik Yusuf Al-Wa’iy, Kekuatan Sang Murabbi Cetakan Kedua (Jakarta: Al-I’tishom Cahaya Umat, 2004), hal. 156-157
[10] Dr. Taufiq Asy-Syawi, Syura Bukan Demokrasi Cetakan Pertama (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), hal. 66-67
[11] Sehubungan dengan ini Sayyid Qutb berkata,” turunnya ayat ini di Mekah memberi isyarat bahwa kedudukan syura dalam penghidupan kaum Muslimin lebih penting dari sekadar system politik Negara. Syura adalah corak asasi bagi jamaah seluruhnya yang urusannya ditegakkan diatasnya sebagai jamaah. Lalu pindah ke Negara sebagai sesuatu yang tumbuh secara alamiah bagi jamaah (Fi Zhilalil Qur’an, juz V: Surat Asy-Syura).
[12] Dr. Taufiq Asy-Syawi, Syura Bukan Demokrasi Cetakan Pertama, Op.Cit., hal. 67-69
[13] Fi Zhilalil Qur’an, Sayyid Quthb (IV/119) cetakan keenam; dan tafsir Al-bahrul Muhith oleh Ibnu Hayyan; Dr. Ahmad Syauqi al-Fanjari dalam kitabnya; Al-Hurriyah As-Siyasiyah fil Islam, hal. 213
[14] Dr. Taufiq Asy-Syawi, Syura Bukan Demokrasi Cetakan Pertama, Op.Cit., hal.69-70
[15] Prof. Dr. Taufik Yusuf Al-Wa’iy, Kekuatan Sang Murabbi, Op.cit., hal. 154
[16] Ibid., hal. 155-156
[17] Dr.Utsman Abdul Mu’iz Ruslan, Pendidikan Politik Ikhwanul Muslimin Cetakan pertama (Solo: Era Intermedia, 2000), hal. 324.
[18] Prof. Dr. Taufik Yusuf Al-Wa’iy, Kekuatan Sang Murabbi Cetakan Kedua (Jakarta: Al-I’thishom Cahaya Ummat, 2004), hal. 144
[19] Ibid, hal. 144-145
[20] Ibid., hal. 146
[21] Ibid., hal. 146-147
[22] Ibid., hal. 147
[23] Ibid.,
[24] Ibid.,
[25] Ibid., hal. 147-148
[26] Ibid., hal. 148
[27] M.Anis Matta, Menikmati Demokrasi Cetakan kedua (Jakarta:Pustaka Saksi,2007), hal. 91-95