Rabu, 30 Juli 2008

URGENSI SYURO DAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN




Makalah Daurah Kaderisasi II UKMI Ar-Royyan UNRI, Ahad 27 Juli 2008
Muqaddimah
“ Tidak keliru yang istikharah, dan tidak rugi yang bermusyawarah.....” (al Hadits)
Kedewasaan Sikap
Kedewasaan baik secara individu ataupun kolektif, sangat ditentukan oleh sebuah kata yang bernama sikap. Kematangan ditentukan oleh baik-buruknya sikap yang ditunjukkan dalam menghadapi persoalan dan tantangan. Dalam hal ini, dunia politik merupakan wilayah yang kontradiktif: di satu sisi kita dituntut untuk sangat dewasa, namun di sisi lain kedewasaan dalam penyikapan adalah suatu hal yang luar biasa sulit. Resikony sangat besar, tantangannya sangat banyak, dan persoalannya sangat memusingkan. Tapi inilah yang menjadi ajang eliminasi politisi, pemimpin, dan sebuah pergerakan.
Penilaian akan mutu sebuah penyikapan politis adalah hasil measure iindikator-indikator ketepatan, efektivitas, dan konsistensi dari sikap yang diambil tersebut.
Ketepatan berkaitan dengan momentum, situasi, tempat, orang, dan iklim penerapan keputusan tersebut. Ini adalah sebuah kolaborasi yang indah dari kebenaran dan presisi.
Efektivitas terkait langsung dengan ketepatan, namun lebih banyak berbicara bagaimana mewujudkan sebuah keputusan yang tepat menjadi realita. Dan ia terkait dengan hal-hal teknis[1].
Konsistensi, merupakan garis batas yang dengan tegas memisahkan antara idealisme dan pragmatisme. Membangun sebuah konsistensi merupakan upaya yang sulit, mengingat keputusan tidak selamanya tepat atau langsung tepat.
Nilai Kebenaran
Kebenaran yang menjadi isi pokok sebuah keputusan sangat terkait dengan referensi, metoda dan proses. Mengenai referensi, kita tidak akan pernah ragu untuk selalu mengedepankan syari’ah: Al Qur’an dan Sunnah. Dalam pada itu, metode yang kita terapkan adalah ijtihad. Ijtihad yang “luas”, tidak jumud. Ijtihad yang mampu menampung dan memadukan dua hal sekaligus : “fiqh wahyu” dan “fiqh waqi’” (realitas). Ijtihad pada hakikatnya adalah mengejawantahkan kebenaran wahyu dalam kebenaran realitas. Maka titik tekan ijtihad kita adalah mashlahat, seperti kata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah: “di mana ada kemashlahatan bagi manusia, di sana pasti terdapat syari’at Allah SWT”.
Perlu diingat bahwa tolak ukur kemashlahatan sangat relatif, abstrak, intangible. Namun ia dapat dikira-kira, diasumsikan dengan berbagai data, fakta-fakta, pertimbangan, dan perimbangannya dengan idealita yang kita maksudkan. Sehingga zhann yang kita anut adalah asumsi yang rajih, kuat.
Setelah selesai urusan referensi dan metode, elemen akhir yang terdapat dalam rahim kebenaran adalah proses yang tepat. Ini sekaligus berbicara tentang lembaga pengambilan keputusan itu sendiri. Inilah yang kita sebut dengan syuro. Kemashlahatan yang menjadi tujuan harus melalui asumsi dasar yang kuat, merujuik kepada realitas , rasionalitas dan idealitas. Tentu saja akal kolektif lebih baik dari akal individu. Seperti dikatakan Rasul SAW, “Tidak keliru yang istikharah, dan tidak merugi yang bermusyawarah”
Resiko Syuro
Namun “ber-syuro” tidaklah segampang membalikkan telapak tangan. Resiko politis setiap keputusan sangat layak menjadi pertimbangan. Tugas pokok syuro untuk mendefinisikan mashlahat ‘ammah atau mudharat yang sifatnya asumtif, membuatnya tak lepas dari resiko kesalahan, atau kebenaran yang tidak bertahan lama. Syuro yang tidak bermutu, akan kehilangan ketepatan dan hikmah yang merupakan syarat dasarnya.
Syarat Syuro yang Benar
Sebagai upaya untuk meminimalisir kesalahan tersebut, para pendahulu kita dari generasi terbaik umat ini telah mencontohkan bagaimana syuro yang benar, dan jika kita lihat makna implisit tersebut ada tiga poin yang bisa dijadikan pegangan.
Pertama, sumber informasi yang jelas, lengkap, tepat, akurat. Informasi yang setengah-setengah akan merancukan sikap dan mengacaukan analisa. Kedua, kedalaman ilmu anggota syuro yang memadai. Inilah yang ditekankan oleh para ulama, karena ilmu dan kepahaman akan menentukan mutu analisis, pikiran, dan gagasan peserta syuro. Perlu diingat, ilmu bukan sekedar wawasan, tapi kepahaman dan didukung juga oleh rajahatul ‘aql (dominasi akal atas emosi), sehingga ide yang timbul kemudian tidak reaktf dan meledak-ledak. Ketiga, tradisi ilmiah dalam menyikapai perbedaan.
Ketiga faktor inilah yang kemudian menentukan fungsi instrumental syuro sebagai alat pengambil keputusan
Namun dibalik itu, syuro masih punya satu sisi lain; sisi psikologis, yang jika tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan perpecahan yang kontraproduktif dalam syuro. Sisi inilah yang di atas kita maksudkan dalam tradisi ilmiah, bagaimana syuro menjamin kemerdekaan setiap pesertanya untuk berekspresi secara wajar dan apa adanya.
sikap tidak melanggar adab majelis, kekanak-kanakan, apriori, ngotot, ngambek, dan menyudutkan, akan memancing peserta syuro lain untuk diam, tidak nyaman, dan tentu saja memecah ukhuwah yang akan menimbulkan keretakan dalam kehidupan berjama’ah.[2]
Pengertian Syuro
Secara bahasa terdiri dari tiga padanan kata SYURA; sesuatu yang wajib ditepati. ISTISYARAH; meminta pendapat. MASYURAH; memberikan pendapat. Sehingga secara bahasa dapat diartikan sebagai proses meminta dan memberikan pendapat, apabila sudah diambil sebuah keputusan maka kedua belah pihak wajib menepati dan melaksanakan semua keputusan tersebut dengan rasa tanggungjawab.
Syura juga berasal dari kata syara al-‘Asal, yang artinya ‘madu itu dibersihkan.’ Syurrat Ad-Daabah maknanya ‘engkau menarik seekor ternak untuk mengetahui atau menguji kekuatannya.’ Maka Asyura ialah menarik pendapat yang beragam dan berbeda-beda, lalu mengujinya untuk mendapatkan pemikiran yang lebih baik dan utama untuk dilaksanakan.[3]
Secara hukum syura berarti mencari kebenaran melalui kesungguhan dan kerja keras, komitmen terhadap manhaj Allah dengan tujuan meningkatkan ketakwaan.[4]
Secara Istilah ada empat padanan kata Syuro yaitu; tasyawur, masyurah, syura, istisyarah.
a. Tasyawur
Istilah ini lebih luas dari dan umum dari istilah lainnya, yaitu setiap dialog bebas diantara individu atau jamaah terhadap suatu masalah yang membutuhkan ketetapan.[5]
b. Masyurah
Pendapat yang dikemukan oleh seorang alim atau ahli fiqih (faqih) baik sendirian ataupun bersama-sama dalam urusan agama yang lebih sempit yang dinamakan fatwa.[6]
c. Syuro
Adalah arti sempit dari tasyawur yang menjadi suatu jalan untuk mendapatkan solusi dan keluarnya ketetapan jamaah mengenai berbagai urusan dalam jamaah yang bersifat umum.[7]
d. Istisyarah
Pendapat yang dikemukakan oleh seorang alim atau ahli Fiqih (Faqih) baik sendirian ataupun bersama-sama dalam urusan-urusan muamalah baik berupa urusan politik, social ataupun militer. [8]
Urgensi Syura
1. Mengaplikasikan salahsatu sifat orang-orang beriman:”Dan mereka bermusyawarah atas urusan mereka,”
2. Komitmen atas kewajiban Islam. “karena itu maafkanlah mereka, mohon ampunkanlah bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.” (Ali Imran: 159)
3. Mengaplikasikan system Islam dan keunggulannya dalam kehidupan individu dan jamaah.
4. Mengajar jamaah, mendidik umat dan mempersiapkan mereka untuk menata kehidupan manusia kepada jalan yang lurus, serta mampu memikul tanggungjawab.
5. Menghindari terjadinya sifat otoriter dalam proses pengambilan keputusan penting yang memiliki pengaruh signifikan dalam masyarakat.
6. Adanya ketenangan atas semua orang bahwa mereka berada di atas jalan yang lurus. [9]
Hukum Syuro (Batasan dan Sifat-Sifat Syuro)
Landasan dalam Alqur’an
Prinsip Syuro ada dalam Alqur’an baik pada periode Makkiyah dan Madiniyyah. Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa syuro berlaku pada setiap periode dan kondisi dakwah baik pada masa pertumbuhan ataupun masa perkembangan dan stabil. Beberapa ayat Al Qur’an yang menunjukkan hal ini akan adalah sebagai berikut :
a. Ayat Makkiyah, Surat Asy-Syura: 38
“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah diantara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada Mereka”
b. Ayat Madaniyah, Surat Ali Imran: 159
“Maka disebabkan rahmat dari Allahlah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu, …”
Dari kedua ayat yang mulia ini tampak sejauhmana Al Qur’an memperhatikan terhadap penetapan mabda’ Syura. Allah mewajibkan sejak dakwah Islam di mulai di Mekah sebagai manhaj dalam rangka mendirikan masyarakat Islam dan sebagai Kaidah system social dalam Islam. Kemudian Al Qur’an mengulangi pengukuhan mabda ini di Madinah, setelah kaum Muslimin mempunyai Negara yang merdeka. Pada saat itu Syura dijadikan fondasi sistem pemerintahan atau sistem konstitusional.
Tinjauan Kedua Ayat Secara Umum :
1. Salah satunya turun di Mekah dan salahsatunya sturun di Madinah. Dalam hal ini ada isyarat yang jelas mengenai keuniversalan mabda syura bagi setiap manajemen masyarakat Islam di seluruh tahapannya, bagaimanapun kondisinya tempatnya dan hubungan dengan masyarakat lain, demikian pula baik jamaah itu sekedar golongan minoritas tertindas ataupun mayoritas yang diatur oleh suatu Negara merdeka.
2. Ayat pertama yang ditujukan kepada kaum Muslimin umumnya sebagai individu-individu di dalam masyarakat dan menuturkan sifat-sifat mereka serta cirri-ciri khas yang membedakan masyarakat mereka. Yaitu
a. Kesatuan Aqidah dan Ibadah
b. Kegotongroyongan dalam berbagai urusan mereka yang bersifat umum melalui musyawarah, tukar pendapat dan jaminan dalam infak, serta segala macam yang dimaksud dalam hal tersebut baik seperti solidaritas mereka dan kemananggulan mereka atas dasar kebebasan yang sempurna dan persamaan yang adil.
Adapun Firman yang kedua ditujukan kepada Rasulullah setelah berhasil mendirikan negaranya yang merdeka di Madinah dengan pimpinan beliau. Ayat kedua ini memerintahkan kepada beliau, sebagai kepala Negara yang baru berdiri sekaligus sebagai penguasanya, agar syura dimana individu-individu telah terdidik sebelum didirikan Negara, menjadi dsar hubungan penguasa dengan rakyat dan individu masyarakat, kendatipun penguasa itu adalah seorang nabi yang diutus dan menerima wahyu dari langit.[10]
Pelajaran dari Surat Asy-Syura
1. Diturunkannya surat ini di Mekah sebelum Hijrah dan sebelum didirikan Negara Islam mempunyai tujuan bahwa syura merupakan salah satu sifat istimewa bagi kaum muslimin. Disamping percaya kepada Allah, mendirikan shalat dan saling menjamin dalam infak. Hal ini menjadikan mabda syura merupakan fondasi pendidikan social bagi individu-individu berikut berbagai macam prakteknya, menjadi wajib atas mereka dalam semua kondisi. Sehingga seandainya tidak ada manajemen politik, pemerintahan ataupun Negara, syura tetap berlaku.
2. Syura sebagai sifat ketiga bagi masyarakat Islam, dituturkan setelah iman dan shalat. Hal ini memberikan pengertian bahwa syura mempunyai martabat sesudah ibadah terpenting, yaitu shalat, sekaligus memberikan pengertian bahwa syura merupakan salah satu ibadah yang tingkatannya sama dengan shalat dan zakat. Maka masyarakat yang mengabaikannya dianggap sebagai masyarakat yang tidak menetapi salah satu ibadah. Sebagaimana dituturkan sebelum infak menjadikannya sebagai dasar bagi hubungan harta, ekonomi dan kerjasama dalam infak atas berbagai kepentingan umum dan penghidupan masyarakat. Hal ini dipahami dari nash ayat. Karena pronomina (kata ganti) yang dipakai kembali kepada orang-orang yang memenuhi panggilan Tuhan mereka, yaitu jamaah Muslimin. Sedangkan perkara yang wajib dikerjakan dengan syura ialah perkara jamaah ini, yang mencakup segala urusan mereka. Jadi artinya,” dan segala urusan mereka itu dimusyawarahkan diantara mereka.”
3. Ketika diturunkan ayat ini kaum muslimin masih merupakan individu-individu yang hanya disatukan dengan kalimat,”bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya.” Sementara mereka berkumpul untuk menunaikan shlat dalam keadaan takut dan khawatir. Maka Allah menghendaki agar musyawarah dan tukar pendapat diantara mereka sebagai permulaan perjalanan untuk mewujudkan masyarakat baru yang berbeda dengan masyarakat jahiliyah.[11] Selain itu, agar mabda syura merupakan subatansi utama masyarakat ini dalam tahapan pengadaannya, dan yang pertama-tama yang harus ditepati oleh individu-individunya dalam fase tarbiyah dan pengaderan supaya mereka menjadi benih umat Islam yang memiliki solidaritas, gotong-royong dan saling menolong.
4. Ungkapan dalam ayat ini bersifat umum, yang dimaksud adalah keseluruhan jamaah dengan segenap individu, golongan, kelas dan organisasinya. Bukan hanya para penguasa semata-mata. Ini suatu bukti bahwa umatlah yang diwajibkan menepati syura, dan umat harus menekannya pada para penguasa yang telah mereka pilih untuk mengatur urusan mereka. Jadi, berpacu menegakkan syura harusnya datang dari individu-individu umat dan khalayak. Tidak cukup hanya menunggu para penguasa sampai mereka menyelenggarakannya. Dengan demikian syura merupakan tanggungjawab bersama seluruh pribadi masyarakat. Dosa yang disebabkan tidak mempedulikannya akan menimpa kepada umat secara keseluruhan.
5. Menemukan syura sebagai fondasi untuk mewujudkan jamaah yang baru ini. Belum mempunyai Negara dan system politik, sebenarnya menjadikan tukar pendapat dan peran serta positif bagi setiap individu mengenai urusan-urusan jamaah dan seluruh masalahnya sebagai tali hubungan yang kokoh yang menyambung antara jamaah dengan individunya dan menjadi dasar keanggotaan dan loyalitas mereka kepada masyarakat itu. [12]
Beberapa Pelajaran dari Surat Ali Imran
1. Ayat ini ditujukan kepada Rasulullah yang mulia, yang Allah telah memilihnya untuk menyampaikan risalah-Nya. Rasul yang menerima perintah-perintah dan pengarahan-pengarahan ilahiyah melalui wahyu Al Qur’an. Kendati syura belum dibutuhkan karena wahyu telah menjamin, membimbing dan mengarahkankannya, namun Allah Swt berkehendak menjadikannya ikutan, dan menjadikan syura sebagai peraturan yang diwajibkan atas generasi-generasi berikutnya, dan atas orang-orang yang dating sesudah mereka, yaitu mengatur berbagai urusan kamum muslim, yang lebih membutuhkan syura dari beliau, karena tidak menerima wahyu dari langit.
2. Ayat ini turun setelah perang Uhud. Para ahli tafsir dan Sejarah Nabi telah bersepakat bahwa Rasul Saw benar-benar bermusyawarah dengan para sahabat sebelum berperang. Beliau berpendapat tidak usah keluar dari kota Madinah dan bertahan di Madinah, karena ketentuan itu memungkinkan mereka menghancurkan pihak penyerang dengan mudah. Tetapi mayoritas sahabat, karena dorongan semangat, menekankan agar keluar dari Madinah untuk menghadapi musuh supaya tidak ditafsirkan mereka takut menghadapi musuh lantaran tidak keluar. Maka Rasulullah Saw menuruti usulan mayoritas. Kebetulan hasil pertempuran itu malapetaka bagi kaum Muslimin, maka orang-orang khawatir dan menduga bahwa hal itu akan menjadi sebab Rasulullah Saw tidak mau lagi bermusayawarah dan tidak mau lagi menyetujui pendapat mereka[13] Oleh karena itu maka datanglah nash ayat yang mulia untuk menghilangkan keraguan ini dengan mewajibkan Rasulullah agar mengampuni apa yang terjadi dari kelompok terbanyak dan agar terus menjalankan musyawarah dan konsisten dengannya. Nashnya pun tegas dan mantap karena datang dalam bentuk perintah dan menetapkan. Yaitu firman Allah;” bermusyawarahlah dengan mereka tentang perkara tertentu.”
3. Ayat ini tidak hanya menjadi dasar kewajiban bagi Rasulullah Saw menetapi syura, tetapi juga memiliki pengertian bahwa seluruh generasi yang datang sepeninggal beliau agar berjalan atas metode beliau dalam hal menetapi prinsip syura, sebagai Sunnah Nabi yang tetap di samping syura sebagai mabda’ Al Qur’an dengan nash yang tegas. Dengan demikian, syura menjadi fondasi setiap system yang berorientasi kepada Islam atau menegakkan syiarnya ataupun menetapi syariatnya, baik system politik, ekonomi, sosial dan lainnya.[14]
Landasan dalam Sunnah
1. Rasulullah saw meminta saran dan pendapat sahabat-sahabatnya dalam menerima tawaran tebusan tawanan Badr.
2. Dalam perang khandaq (ahzab), Rasulullah saw bermusyawarah dengan Sa’ad dalam proses perjanjian damai dengan suku Ghathafan dengan balasan setengah hasil kebun kota Madinah.
3. Rasulullah saw juga bermusaywarah dengan pasukannya dalam kasus pembagian ghanimah (harta rampasan perang) Hawazin seusai perang Hunain. Ketika itu, utusan dari Hawazin dating kepada Rasulullah saw untuk meminta jatah ghanimah. Beliau melontarkan masalah ini kepada para pahlawan perang untuk dimusyawarahkan. Beliau menyatakan persetujuannya yang diikuti kaum Muhajirin dan Anshar. Namun tidak disetujui oleh al-Aqra’ bin Habis dari bani Tamim dan al-Abbas bin Mirdas dari bani Salim. Rasulullah berkata kepada utusan tersebut, “Sesungguhnya kami tidak tahu siapakah yang mengabulkan permintaan kalian diantara orang-orang yang tidak menyetujuinya.kembalilah kalian sehingga pemimpin kalin membicarakan hal ini kepada kami. Merekapun kembali dan menyampaikan keputusan tersebut kepada pemimpin mereka. Setelah itu kembali kepada Rasulullah saw dan menyampaikan padanya bahwa pemimpin mereka menyetujui keputusan itu.”(Fathul Bari, Syarah Shahih Bukhari)
4. Rasulullah saw bermusyawarah dengan para sahabatnya dalam menentukan cara mengajak kaum Muslimin untuk menunaikan shalat. (lihat kisah awalnya adzan dikumandangkan)
5. Beliau juga bermusyawarah dalam masalah peperangan, kesepakatan pembagian ganimah, perkara social politik. Seluruh masalah ini adalah unsur-unsur mendasar bagi sebuah Negara Islam.[15]
Landasan contoh Syura Khulafaur Rasyidin
1. Abu Bakar bermusyawarah dengan para sahabat tentang warisan seorang nenek, dan ketika Mughirah bin Syu’bah mengatakan bahwa ia pernah mendengar hukum tentang hal itu dari Rasulullah saw yang disaksikan oleh beberapa orang sahabat, Abu Bakarpun mengikuti nash tersebut.
2. Tatkala beberapa sahabat mengusulkan perlunya penentuan gaji Abu Bakar sebagai Khalifah, masalah inipun kemudian dilontarkan kepada sahabat lainnya dan ahlul masjid yang selanjutnya menyepakati gaji beliau sebesar 3 dirham perhari.
3. Umar bin Khattab bertekad untuk memimpin pasukan perang kaum Muslimin menuju Persia dan mengajukan keinginan tersebut untuk dimusyawarahkan, ternyata mayoritas kaum Muslimin menginginkan agar beliau tetap di Madinah dan diwakili oleh Sa’ad bin Abi Waqqash.
4. Umar Ra juga meminta saran dan masukan kepada para sahabat tentang hukuman bagi peminum Khamr dan keinginannya untuk memperberat hukuman itu dengan 80 kali cambukan.
5. Umar bin Abdul Aziz membentuk suatu badan Majlis Syura yang terdiri dari 77 orang dari kalangan fuqaha, ulama dan hakim dan ia tidak memutuskan satu perkarapun selain meminta izin kepada mereka.[16]
System Pengambilan Kebijakan di dalam Dakwah adalah :
1. Syura
2. Hurriyah (kebebasan)
3. Musawah (persamaan)
4. ‘adl (Adil)
5. Ta’ah (Ketaatan)
6. Amar Ma’ruf Nahyi Mungkar (memerintahkan kebajikan dan mencegah kemungkaran)[17]
Bahaya Otoriter dan Individualis
Pengertian Otoriter dan Indiviualis
Secara terminology, otoriter berarti menguasai atau mendominasi. Sifat otoriter dan Individualis dalam menetapkan keputusan ibarat dua sisi mata uang. Keduanya saling mendukung satu sama lain. Maka, sifat otoriter menimbulkan perilaku individualis dalam pengambilan keputusan atau kebenaran opini dan pendapat hanya ada pada dirinya saja. Kandungan hikmah, kelurusan dan kebenaran hanya yang terucap dari mulutnya.[18]
Fir’aun Contoh Konkrit Sifat Otoriter dan Individualis
Hal ini termaktub dalam Al Qur’an Surat Al Mukmin:29
“(Musa berkata),’Fir’aun berkata,”Aku tidak mengemukakan kepadamu, melainkan apa yang aku pandang baik dan aku tiada menunjukkan kepadamu selain jalan yang benar.”
Apakah Sifat Otoriter Warisan atau Muktasab (Perolehan)
Tidak ada bukti empiris sifat otoriter diturunkan secara keturunan. Walaupun keturunan orang yang otoriter berpeluang sangat besar menjadi otoriter. Namun ada banyak hal yang membuktikan bahwa sifat ini lebih berpeluang sebagai akhlak muktasab bila orang itu hidup di tengah lingkungan yang demikian otoriter.
Setiap orang pada dasarnya tidak mempunyai sifat otoriter, namun ia mendapatkannnya dari-teman-teman selingkungannya. Sifat otoriter ini juga bisa muncul dari system manajemen yang ekslusif, sehingga ia merasa dialah pemegang kekuasaan sepenuhnya. Merasa memiliki pendapat yang paling benar yang harus diterima semua pihak. Sehingga timbullah sikap despotisme (kesewenang-wenangan) secara perlahan sifat otoriternya akan semakin mengental, hingga sampai merasa ia paling benar dan setiap orang yang menentang lari dari kebenaran dan harus dihabisi. Akhirnya ia menjadi tiran. Seperti Fir’aun yang dinyatakan oleh Allah Swt dalam AlQur’an :
“Maka, Fir’aun mempengaruhi kaumnya (dengan perkataan itu) lalu patuh kepadanya.” (Az-Zukhruf: 54)[19]
Bahaya Otoriter dan Individualis
1. Walaupun seseorang diberi akal yang cerdas dan cemerlang, maka akan selalu ada sesuatu yang tidak diketahuinya. Bila ia tetap mempertahankan pendapatnya yang mengandung kelemahan dan kekurangan serta akibat buruk, maka sikap otoriter seperti itu akan menimbulkan bencana bagi orang lain.[20]
2. Seseorang yang selalu ingin pendapatnya diterima dan bersikukuh mempertahankannya, secara perlahan akan menjelma menjadi sosok tiran dan otoriter, sehingga ia menyerupai Fir’aun dimana sifatnya itu membuatnya berkata, “Akulah tuhanmu yang maha tinggi.” Atau berkata seperti apa dikatakan tiran besar ini kepada para penyihirnya yang sujud dan berserah diri kepada Allah Swt, setelah melihat mukjizat Nabi Musa yang diberikan Allah Kepadanya. “kalian beriman kepadanya sebelum aku mengizinkan kalian untuk itu ?”
Ia pun akhirnya mengancam akan memotong kaki dan tangan mereka secara bersilang dan menyalibnya di batang pohon korma. Ia semakin menunjukkan ketiraniannya seraya berkata,”Dan kalian akan mengetahui siapakah diantara kita yang lebih pedih dan lebih kekal siksanya.”[21]
3. Munculnya pendapat Individualis dan otoriter akan melumpuhkan kekuatan akal orang lain, kemampuannya dalam berpikir dan lenyapnya daya saring terhadap berbagai pendapat yang beragam. Inilah yang menyebabkan hilangnya daya pikir kreatif, inovatif, lurus dan bermanfaat di tengah masyarakat. Inilah kerugian besar yang menimpa umat ini setelah kebaikan-kebaikan itu semakin punah.[22]
4. Sebagian orang merasa tidak perlu ada loyalitas terhadap masyarakat di mana kita berada. Itu menyebabkan terjadinya penyimpangan dan kerusakan perilaku pada sebagian mereka, yang menyebabkan munculnya bencana besar di tengah mereka.[23]
5. Kesibukan manusia pada hal-hal yang sekunder dan remeh-temeh menyebabkan munculnya kekosongan jiwa. Ini adalah awal bencana dan malapetaka. Sifat otoriter dapat terjadi pada seseorang, kelompok, atau partai tertentu, maka bisa dikatakan sebagai dictator pribadi, partai atau kelompok. Sebagaimana disebut sebagai dictator proletar (dalam kalangan pekerja).[24]
6. Apabila hasil yang diperoleh dari sebuah keputusan yang tidak terbantahkan itu buruk, maka cemoohan, makian dan hinaan mengarah pada satu titik, yaitu pemilik opini tersebut. Hal itu akan mengakibatkan hilangnya kepercayaan setiap orang padanya, sehingga ia tidak mampu mengawasi segala aktivitas yang berada di bawah kepemimpinannya.[25]
Cara menjauhkan Diri dari Sifat Diktator dan Individualis
1. Merupakan tanggung masyarakat seluruhnya untuk menterapi penyakit ini
2. Menyadari bahwa kisah akhir dari para tiran adalah kisah yang tragis
3. Mengikuti manhaj Islam dan selalu musyawarah dalam pengambilan semua keputusan dan menganggapnya sebagai kewajiban kepada Allah Swt.[26]
Mengelola Ketidaksetujuan Terhadap Hasil Syuro
Terakhir, mari kita berbicara tentang ketidaksetujuan terhadap hasil syuro. Seringkali kita menghadapi keadaan di mana keinginan pribadi bertentangan dengan hasil syuro. Pendapat yang kita yakini bertolak belakang dengan syuro. Ini adalah ujian yang menuntut keikhlasan dan kesabaran ekstra. Sangat tidak mengenakkan untuk tunduk dan patuh pada keputusan yang tidak sejalan dengan kita.
Namun ada beberapa hal yang mesti kita perhatikan :
· Apakah benar kita telah menguji pendapat kita secara ilmiah, atau itu hanya lintasan pikiran?
· Kalau kita berani jujur, apakah pendapat kita adalah obsesi pribadi jiwa kita, atau memang kebenaran objektif? Apakah kita menganggap diterima atau tidaknya usulan kita sebagai sebuah hal menang-kalah?
· Seandainya kita memang percaya benar akan niat dan ketepatan perkiraan kita secara ilmiah, maka ingatlah; “mempertahankan kesatuan dan keutuhan shaff jama’ah jauh lebih utama daripada memenangkan pendapat yang amat tepat sekalipun.
· Sesungguhnya dalam ketidaksetujuan ada pelajaran berharga tentang keikhlasan, makana iman, tajarrud dari hawa nafsu, makna ukhuwah dan persaudaraan, makna tawadhu’ dan kerendahan hati, dan makna tsiqoh kepada jama’ah. Seperti kata Imam Syafi’i; “Pendapatku benar, tapi ada kemungkinan salah. Dan pendapat mereka salah, tapi bisa jadi benar...”[27]
Sesungguhnya perbedaan adalah kekayaan dalam hidup berjamaah, menikmatinya berarti meneguk kekayaan tersebut. Dan jikalau ada kesalahan dalam keputusan, maka kesalahan itu akan dapat direduksi, mudah diketahui sebab-sebabnya, ditanggung bersama, tidak menyebabkan kelemahan kolektif, dan itu lebih diridhoi oleh Allah SWT.
“Wahai orang-orang beriman, bersabarlah...,dan bersabarlah, dan bersatulah agar kamu menjadi kaum yang menang” (QS Ali Imran ; 200)
Pentingnya Amal Jama’I dalam setiap melakukan Pekerjaan
Pentingnya peranan Syura memberikan penekanan penting bagi kita untuk melakukan amal Jamai antara Qiyadah dan jundiah dalam suatu Jamaah Dakwah. Unsur-unsur yang ditekankan pada amal Jamai itu adalah berlandasaskan keimanan, amal shaleh dan saling menasehati dalam menetapi kebenaran dan kesabaran. Sebagaimana yang dijelaskan firma Allah:
“Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat-menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (Al-’Ashr : 3)
Wallahu’alam


[1] Mengenai efektivitas, saya ingin menambahkan bahwa hal ini terkait erat dengan efisiensi. Efektifitas dalam kaidah bahasa Indonesia dinamai mangkus; berhasil-guna berbicara tentang efek, hasil yang diraih. Sedangkan efisiensi adalah sangkil; berdaya-guna. Titik tekannya adalah pemberdayaan potensi seoptimal mungkin. Mencapai sasaran dengan akurat dan telak.
[2] M.Anis Matta, Menikmati Demokrasi Cetakan kedua (Jakarta:Pustaka Saksi,2007), hal. 85-88
[3] Prof. Dr. Taufik Yusuf Al-Wa’iy, Kekuatan Sang Murabbi Cetakan Kedua (Jakarta: Al-I’tishom Cahaya Umat, 2004), hal. 149.
[4] Ibid,.
[5] Dr.Taufiq Asy-Syawi.Syura Bukan Demokrasi Cetakan Pertama (Jakarta: Gema Insani Press,1997), hal. 130
[6] Ibid,hal. 131
[7] Ibid
[8] Ibid
[9] Prof. Dr. Taufik Yusuf Al-Wa’iy, Kekuatan Sang Murabbi Cetakan Kedua (Jakarta: Al-I’tishom Cahaya Umat, 2004), hal. 156-157
[10] Dr. Taufiq Asy-Syawi, Syura Bukan Demokrasi Cetakan Pertama (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), hal. 66-67
[11] Sehubungan dengan ini Sayyid Qutb berkata,” turunnya ayat ini di Mekah memberi isyarat bahwa kedudukan syura dalam penghidupan kaum Muslimin lebih penting dari sekadar system politik Negara. Syura adalah corak asasi bagi jamaah seluruhnya yang urusannya ditegakkan diatasnya sebagai jamaah. Lalu pindah ke Negara sebagai sesuatu yang tumbuh secara alamiah bagi jamaah (Fi Zhilalil Qur’an, juz V: Surat Asy-Syura).
[12] Dr. Taufiq Asy-Syawi, Syura Bukan Demokrasi Cetakan Pertama, Op.Cit., hal. 67-69
[13] Fi Zhilalil Qur’an, Sayyid Quthb (IV/119) cetakan keenam; dan tafsir Al-bahrul Muhith oleh Ibnu Hayyan; Dr. Ahmad Syauqi al-Fanjari dalam kitabnya; Al-Hurriyah As-Siyasiyah fil Islam, hal. 213
[14] Dr. Taufiq Asy-Syawi, Syura Bukan Demokrasi Cetakan Pertama, Op.Cit., hal.69-70
[15] Prof. Dr. Taufik Yusuf Al-Wa’iy, Kekuatan Sang Murabbi, Op.cit., hal. 154
[16] Ibid., hal. 155-156
[17] Dr.Utsman Abdul Mu’iz Ruslan, Pendidikan Politik Ikhwanul Muslimin Cetakan pertama (Solo: Era Intermedia, 2000), hal. 324.
[18] Prof. Dr. Taufik Yusuf Al-Wa’iy, Kekuatan Sang Murabbi Cetakan Kedua (Jakarta: Al-I’thishom Cahaya Ummat, 2004), hal. 144
[19] Ibid, hal. 144-145
[20] Ibid., hal. 146
[21] Ibid., hal. 146-147
[22] Ibid., hal. 147
[23] Ibid.,
[24] Ibid.,
[25] Ibid., hal. 147-148
[26] Ibid., hal. 148
[27] M.Anis Matta, Menikmati Demokrasi Cetakan kedua (Jakarta:Pustaka Saksi,2007), hal. 91-95

Senin, 28 Juli 2008

ARKANUL BAI’AH DALAM BINGKAI JIHAD SIYASI (Rukun Al Fahmu, Al Ukhuwah dan At Tsiqoh)



Makalah Tasqif Siyasi UNRI Rabu, 16 Juli 2008
Definisi Arkanul Bai’ah
Di awal Sekali Imam Syahid Hasan Al Banna mengungkapkan dengan perkataan berikut ini :
awal kata bai'ah
(Rukun Bai’at Kita ada sepuluh, maka jagalah!)
Dari kalimat pembuka diatas kita dapat melihat bahwa Arkanul Bai’ah terdiri kata-kata arkan, Bai’at dan infazhuha.
Kata Arkan adalah kata jamak dari rukn, yang berarti pilar utama atau salah satu pilar yan menjadi fondasi bangunan.sesuatu. atau pilar yang apabila ditinggalkan maka batallah suatu pekerjaan dan tidak memiliki kekuatan lagi. Atau pilar yang terkuat. Atau masalah yang besar. Atau sesuatu yang mempunyai kekuatan, baik berupa raja, tentara dan lainnya, atau berupa kedudukan dan kemampuan pertahanan[1]
Kata bai’at berarti perjanjian untuk mencurahkan ketaatan dengan harga yang setimpal. Pada asalnya, kata bai’at bermakna mencurahkan ketaatan kepada penguasa dalam melakukan perintahnya. Seseorang yang melakukan bai’at berarti dia telah berjanji untuk mencurahkan ketaatannya, sekalipun ketaatan tersebut menuntut harta atau kepayahan atau jiwa selama hal itu dalam mencari keridhaan Allah swt.[2]
Kata Infazhuha berasal dari kata fahzahuha (jagalah dia) memiliki dua makna yaitu :
1. Sadar dan paham setelah mencermati, dalam arti merasa mantap pada hasil pemahaman
2. Melaksanakan konsekuensi Bai’at, yakni memelihara, menjaga dan melaksanakan. [3]
Risalah Arkanul Bai’ah Bagian dari Risalatut Ta’alim Wal Usar
Arkanul Bai’ah merupakan bagian dari risalah Imam Syahid Hasan Al Banna yang bertajuk Risalah Ta’alim Wal Usar. Sehingga akan kurang sempurna kalau kita melihat semua isi risalah untuk mendapatkan hikmah yang lengkap di dalamnya. Risalah ini dimunculkan oleh Imam Hasan Al Banna ditengah-tengah perpecahan yang terjadi dalam gerakan-gerakan Ishlah (reformasi) kembali untuk menyatukan semua kaum Muslimin. Setelah Kekhalifahan Turki Ustmani Runtuh pada tahun 1924 M muncullah banyak gerakan penyadaran untuk kembali memperbaiki keadaan Umat Islam.
Gerakan-gerakan ini mempunyai beberapa ciri :
1. Cendrung mengambil gerakan yang parsial, yaitu terlalu memprioritaskan pada satu aspek perbaikan saja. Ada yang hanya mementingkan aspek aqidah saja, ada yang hanya memfokuskan pada aspek ekonomi dan social saja, ada yang memfokuskan pada pembentukan tokoh saja karena mereka menganggap umat saat sekarang ini kehilangan tokoh. Bahkan ada yang hanya memfokuskan pada aspek politik saja.
2. Antara berbagai kelompok ini sering tidak akur dan saling menjatuhkan antara satu dengan lainnya. Sehingga perubahan itu tidak kunjung menemukan titik temu yang satu dan banyak yang tambal sulam.
Didasari oleh realitas inilah maka Imam Syahid Hasan Al Banna memformulasikan kerangka berpikir untuk menyatukan semua gerakan penyadaran umat ini untuk kerja bahu-membahu.
Risalah ini ditulis Imam Syahid pada tahun 1943 M. risalah ini termasuk risalah yang terpenting yang ditulis oleh beliau. Bahkan Ustadz Abdul Halim Mahmud menganggapnya sebagai puncak dan intisari dari semua risalah yang beliau tulis.
Risalah ini berisi strategi jamaah Ikhwan dalam tarbiyah dan pembentukan kader. Juga berisi tentang tujuan-tujuan dakwah dan perangkat untuk mencapai tujuan tersebut. Imam Syahid menulis risalah ini untuk para ikhwan yang tulus, para mujahdi atau yang disebut dengan kader inti Ikhwan. Dimana gaya bahasa yang dipakai adalah gaya bahasa Instruksi untuk beramal, bukan sekadar pembicaraan.[4]
Teori reformasi yang diusulkan Imam Syahid Hasan Al Banna adalah teori yang jelas dan komprehensif. “Sesungguhnya terapi bagi keterpurukan, perpecahan kata, kehancurandan kemunduran peradaban umat Islam tidak bisa dilakukan dengan terapi tunggal, ia harus dengan terapi komprehensif. Begitu juga manhaj reformasi untuk membebaskan umat Islam dari keterpurukannya haruslah komprehensif tanpa memprioritaskan manhaj salah satu reformis, tetapi harus mencakup seluruh unsure reformasi. Dengan itulah semua kondisi umat Islam akan membaik,” begitulah yang ditulis Imam Syahid Hasan Al Banna menjelaskan gagasan Reformasinya. [5]
Unsur-unsur reformasi yang ini adalah :
1. Al Fahm: memahami agama Islam dengan benar dan komprehensif.
2. Al Ikhlas: Ikhlas karena Allah dalam beramal untuk Agama
3. Al ‘Amal: beramal demi agama ini dengan memperbaiki diri sendiri, rumah tangga Muslim, masyarakat, pemerintahan dan seterusnya.
4. Al Jihad: jihad fi sabilillah dengan berbagai tingkat dan variasinya.
5. At Tadhliyyah: berkorban waktu, kesungguhan, harta, dan jiwa demi agama
6. At Tha’ah: Menaati Allah dan Rasulnya, baik dalam kondisi susah atau mudah, senang maupun benci.
7. Ats Tsabat: memegang teguh agama, baik dari sisi aqidah, syari’ah, maupun perbuatan, sekalipun harus memakan waktu yang panjang untuk sampai pada tujuan.
8. At Tajarrud: membersihkan diri dari pemikiran yang bertentangan dengan pemikiran Islam dan dari setiap orang atau teman yang memisahkan antara seorang Muslim dengan loyalitas kepada agamanya.
9. Al Ukhuwwah: persaudaraan dalam agama, karena persaudaraan merupakan saudara persatuan dan terapi bagi keterpurukan dan kehancuran.sedangkan perpecahan merupakan saudara kekufuran.
10. At Tsiqah: Kemantapan hati dalam mengontrol perbuatan demi Islam sesuai dengan kaidah Islam yang mengatakan,” tidak ada ketaatan dalam bermaksiat kepada Khalik.”[6]
Dalam risalatut ta’alim wal usar ini beliau juga menjelaskan tahapan-tahapan dakwah Ikhwan yaitu :
1. Ta’rif (pengenalan, atau tahap afiliasi)
2. Takwin (pembentukan atau tahap partisipasi)
3. Tahfidz (mobilisasi atau tahap kontribusi)
Bagian akhirnya berisi 38 kewajiban yang harus ditunaikan untuk menyempurnakan pelaksanaan Arkanul Bai’ah.
Definisi Jihad Siyasi
Jihad siyasi terdiri dari dua kata yaitu jihad dan siyasi.
Jihad
Secara bahasa Arab kata jihad dan mujahadah berarti,”menguras kemampuan dan melawan musuh” Jahada Al ‘Aduw berarti Qataluhu,”memeranginya.” Jihad adalah seruan kepada agama yang haq. Jihad dapat dilakukan dengan tangan dan lisan. Rasulullah bersabda,” berjihadlah kepada orang-orang kafir dengan tanganmu dan lisanmu.”
Fairuz Abadi mengatakan dalam kitabnya, Basha-ir Dzawit Tamyiz, “ jihad dan mujahadah adalah menguras kemampuan dalam memerangi musuh. At Tarmizi meriwayatkan dengan sanadnya dari Fudhalah bin ‘Ubaid, ia berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda,” Mujahid adalah orang yang berjihad melawan jiwanya (hawa nafsunya) dalam rangka menaati Allah”
Lafadz jihad dalam Al Qur’an dipakai dengan mengindikasikan beberapa makna antara lain :
1. Berjihad melawan orang-orang kafir dengan menggunakan argumen dan Hujjah (lihat Q.S At-Taubah:73 dan At Tahrim: 9 dan Al Furqan:52)
2. Berjihad melawan pendukung kesesatan dengan pedang dan peperangan (lihat Q.S An Nisa’:95, Al Baqarah: 218)
3. Berjihad melawan hawa nafsu (Lihat Q.S Al Ankabut:6)
4. Berjihad melawan setan dengan cara tidak mentaatinya karena mengharapkan hidayah Allah (lihat Q.S Al Ankabut:69)
Tapi dalam banyak ayat yang ada dalam Alqur’an lebih menekankan pengertian jihad adalah dengan padanan kata Qital (perang).[7]
Siyasi
Siyasi dalam bahasa arab berasal dari kata sa-sa yang mempunyai dua pola. Yaitu sasa-yasusu-sausan dan pola yang kedua adalah sasa-yasusu-siyasatan. Dalam bahasa Arab akar kata ini bermakna ganda yaitu kerusakan sesuatudan tabiat atau sifat dasar. Dari makna yang pertama diperoleh makna leksikal menjadi rusak atau banyak kutu, sedangkan dari makna kedua diperoleh makna memegang kepemimpinan masyarakat, menuntun atau melatih hewan, mengatur atau memelihara urusan. Dalam Hadist Rasulullah Saw kata “siyasah” digunakan stidak-tidaknya dua kali. Pertama, ketika beliau menyebut kepemimpinan atas Bani Israil oleh para nabi. Kedua, ketika beliau menuntun kudanya dari halaman Masjid Nabawi di Madinah. [8]
Dalam pengertian yang universal siyasah berasal dari kata as-saus yang berarti ar-riasah (Kepengurusan). Jika dikatakan saasa al-amra, berarti qaama bihi (menangani urusan).[9]
Menurut para ahli siyasah bisa berarti:
1. Seni memerintah Negara
2. Kekuatan (power) merealisasikan tujuan yang ingin dicapai
3. Seni tawar menawar (bargaining)
4. Imam Ibnu Qoyyim mengartikan: upaya perbaikan kehidupan manusia dan penghindaran kerusakan.
5. Ibnu Khaldun mengartikan: eksistensi organasasi kemasyarakatan untuk mewujudkan kehendak tuhan yang memakmurkan bumi dengan menjadikan manusia sebagai khalifah.
6. Dalam bahasa Yunani Politicos artinya sama dengan Al Madinah, hal ini akan memberikan pemikiran baru kepada kita megapa Yastrib dinamakan Madinatur Rasul yang merupakan pusat pemerintahan Rasulullah Saw.
7. Dalam beberapa hadist juga dapat berarti menangani sesuatu yang mengharuskan adanya penghidmatan, keahlian, kecakapan, seni dan kekuatan.[10]
Menurut pendapat Imam Syahid Hasan Al Banna seputar masalah siyasi adalah sebagai berikut :
“Sesungguhnya Muslim tidak akan sempurna keislamannya kecuali jika ia politisi; pandangannya jauh ke depan terhadap permasalahan umatnya, memperhatikan dan menginginkan kebaikannya. Meskipun demikian, dapat juga saya katakan bahwa pernyataan ini tidak dinyatakan oleh Islam. Setiap organisasi Islam hendaknya menyatakan dalam program-programnya bahwa ia memberikan perhatian kepada persoalan politik umatnya. Jika tidak demikian, maka ia sendiri yang butuh untuk memahami makna Islam[11]
Syumuliatul Islam menuntut Amal Siyasi
Untuk menegaskan hakikat ini, bahwa Islam menghendaki (syariat) Islam dijadikan sebagai system hidup yang utuh dan integral, dengan membawahi aspek politik beliau berkata:
“Produk pemahaman secara umum dan utuh tentang ini menurut Al Ikhwan Al Muslimun adalah bahwa gagasan pemikiran mereka mencakup seluruh aspek perbaikan masyarakat. Termasuk dalam bagiannya adalah semua unsure lain yang merupakan gagasan perbaikan pula. Karena itu, semua reformis yang tulus dan penuh perhatian akan mendapati apa yang diingikannya di sana. Maka bertemulah cita-cita pencinta reformasi yang memahami dan mengetahui visinya. Engkau dapat mengatakan, dan itu tidak mengapa, bahwa Al Ikhwan Al Muslimun adalah tatanan politik, karena para kadernya menuntut perbaikan hukum di dalam negeri dan menuntut kaji ulang terhadap hubungan umat Islam dengan bangsa lain di luar negeri, juga pendidikan masyarakatnya agar mencapai kehormatan, kemuliaan, perhatian kepada kebangsaannya, hingga batas yang paling jauh”.[12]
Berdasarkan keterangan diatas maka kita dapat mengambil kesimpulan bahwa jihad siyasi adalah mengerahkan semua kemampuan baik yang berbentuk penghidmatan, keahlian, kecakapan, seni dan kekuatan dalam memperbaiki kehidupan umat dan menghindari kerusakan yang akan terjadi secara sistematis dan komprehensif.
Peranan Arkanul Baiah Terutama Rukun Al Fahmu, Al Ukhuwah Dan At Tsiqoh Dalam Jihad Siyasi
Dalam pertemuan yang relatif singkat ini sangatlah sukar mendedahkan urgensi semua poin Arkanul Baiah dalam aktivitas jihad siyasi. Namun panitia sudah berbaik hati kepada saya dengan memfokuskan pada rukun Al Fahmu, Al Ukhuwah dan Tsiqoh saja. Sebenarnya kesepuluh rukun ini sangat penting dalam jihad siyasi. Sehingga kita tidak dapat hanya memfokuskan pada beberapa rukun saja dan mengesampingkan yang lain. Karena ini akan merusak Syumuliatul dakwah itu sendiri. Ini penting kita tekankan sebelum kita memulai pembahasan ini. Karena semua rukun ini akan saling menguatkan, berkelindan satu sama lain mungkin bahasa tepatnya. Ibarat tali Kapal Lancang Kuning yang berpilin tiga. Jika putus satu maka akan tercerai-berailah tali tersebut.
Peranan Rukun Al Fahmu Dalam Bingkai Jihad Siyasi
Banyak pihak yang mempertanyakan mengapa Imam Syahid Hasan Al Banna mendahulukan pemahaman dalam Arkanul Bai’ah ini. Ustadz Dr. Yusuf Al Qaradhawi menjelaskan bahwa urutan yang dibuat oleh Imam Syahid Hasan Al Banna sudah tepat. Karena beliau tahu betul skala prioritas, mendahulukan apa yang harus didahulukan.[13]
Skala prioritas dalam memperjuangkan Islam haruslah diperhatikan. Hal ini jelas, yang hampir tidak seorangpun diantara para pemikir dikalangan umat Islam yang memperselisihkannya. Dengan menentukan skala prioritas dalam melakukan kegiatan dakwah, tarbiyah, gerakan dan penataan ini yang keseluruhannya adalah merupakan unsur utama bagi setiap usaha pembatuan Islam. Atau penghidupan kembali manhaj Islamdalam diri manusia, akan terwujudlah kebangkitan dan kebangunan di seluruh wilayah Islam sebagaimana yang kita saksikan saat ini.[14]
Beliau lalu menjelaskan fungsi pemahaman selaras dengan aksioma, pemikiran harus mendahului gerakan, gambaran yang benar merupakan pendahuluan dari perbuatan yang lurus. Karena ilmu merupakan bukti keimanan dan jalan menuju kebenaran. Para ahli sufi juga membuat alur: ilmu akan membentuk sikap, sikap akan mendorong perbuatan. Sebagaimana pernyataan psikolog yang menyatakan ada alur antara pengetahuan, emosi dan perbuatan.[15]
Prinsip Al Fahmu dengan 20 prinsipnya merupakan deklarasi bahwa Islam adalah solusi. Karena Islam adalah solusi maka kaidah-kaidah yang ada dalam Al Fahmu ini akan menjadi kaidah dasar dalam beramal siyasi. Kita perhatikan saja prinsip yang pertama yang menerangkan tentang Syumuliatul Islam.
“ Islam adalah system yang syamil (menyeluruh) mencakup seluruh aspek kehidupan. Ia adalah Negara dan tanah air, pemerintahan dan umat, moral dan kekuatan, kasih sayang dan keadilan, peradaban dan undang, ilmu pengetahuan dan hokum, materi dan kekayaan alam, penghasilan dan kekayaan, jihad dan dakwah, serta pasukan dan pemikiran. Sebagaimana ia juga aqidah yang murni dan ibadah yang benar, tidak kurang tidak lebih”[16]
Prinsip pertama ini mengajarkan kepada kita bahwa aktivitas siyasi yang kita lakukan bukan hanya aktivitas menarik seseorang untuk memilih kita dalam perhelatan-perhelatan siyasi. Aktivitas siyasi kita lebih besar daripada itu. Tugas siyasi kita adalah menjadikan setiap muslim menyadari, mengetahui, meyakini dan mengamalkan Islam sesuai dengan kebesaran Islam itu sendiri. Sehingga semua permasalahan kehidupan baik yang yang pribadi dan yang lebih besar dari pada itu disandarkan pada tata aturan Islam.
Tidak ada lagi pernyataan-pernyataan yang membigungkan umat seperti yang dikemukan Nurkholish Majid: “Islam Yes, Partai Islam No”. atau pernyataan Amien Rais:” Saya lebih mementingkan Kecapnya daripada Botolnya”. Memang secara Substantif Islam itu harus didahulukan, tetapi pemberlakuan tata aturan Islam secara legal formal juga diperlukan. Masalah prioritas, itu adalah masalah strategi.
Sehingga kita tidak akan pernah berkata,” berikanlah hak negara kepada raja, dan berikanlah, hak agama kepada Tuhan.” Tidak akan pernah ada sekularisme dan liberalism dalam pemikiran dan aktivitas siyasi kita. Pemahaman ini sangat penting dalam melaksankan aktivitas dakwah di ranah siyasi.
Pembahasan mengenai Rukun Al Fahmu dan 20 Prinsip ini sudah banyak sekali bertebaran di buku-buku yang ditulis oleh para pewaris Dakwah Imam Syahid Hasan Al Banna. Pada makalah ini saya hanya mengambil contoh yang diatas saja, semoga dalam diskusi nanti adalagi hikmah yang akan tersingkap.
Saya sarankan untuk membaca dan mendiskusikan beberapa buku yang menerangkan mengenai Arkanul Bai’ah di akhir makalah ini. Inti dari landasan Syar’I jihad siyasi berlandaskan Rukun Al Fahmu dapat kita ketahui diakhir rukun Al Fahmu ini Imam Syahid Hasan Al Banna menutupnya dengan kata-kata:
“Apabila saudaraku Muslim mengetahui agamanya dalam kerangka prinsip-prinsip tersebut, maka ia telah mengetahui makna dari Syi’arnya :Al Qur’an adalah undang-undang kami dan Rasul adalah Teladan kami.[17] Artinya kerangka jihad siyasi kita harus selalu berada dalam pedoman Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw.
Ragam Pemikiran Siyasi dalam pergerakan Islam di Indonesia sebagai sebuah Perbandingan
Sebagai perbandingan saya kutip apa adanya kutip dari Pengantar Editor Suherman, M.Si Buku menuju Cahaya (Recik-recik Tarbiyah dan Dakwah M.Anis Matta) berikut ini yang menerangkan ragam pemikiran siyasi di Indonesia.
“Menurut kategorisasi yang dibuat oleh Bahtiar Efeendy ada tiga kategori konsep pemikiran Islam Indonesia. Ketiganya memang merupakan respon terhadap situasi dan kondisi social-politis yang terjadi saat rezim Orde Baru sedang Hegemonik baik secara politis maupun Kultural.
Ketiga aliran pemikiran itu adalah :
a. Pembaruan teologis
b. Reformasi politik
c. Transformasi Sosial.
Ketiga aliran pemikiran tersebut juga muncul sebagai alternative perjuangan mereka setelah mempelajari sejarah kekalahan Islam di pentas Politik nasional sejak Indonesia Merdeka, di mana Islam selalu kalah.
Kekalahan Islam ini, dalam pandangan mereka karena strategi perjuangan mereka, karena strategi perjuangan mereka secara politis-Ideologis yang terlalu formalistic, dalam arti bahwa terlalu memaksakan diri untuk memperjuangkan Islam secara konstitusional tanpa dilandasi basis social yang kokoh. Yang pada akhirnya Islam selalu berhadap-hadapan dengan Negara, dan lebih buruk lagi dari itu, Negara menganggap bahwa Islam sebagai kekuatan oposisi yang harus disingkirkan karena dianggap sebagai factor destabilisasi yang menghalangi proses pembangunan (Effendy,1998)
Yang dimaksud dengan pembaruan Teologis adalah suatu usaha untuk mengadakan kontekstualisasi ajaran Islam atau mengadakan sintesis antara idealism islam dengan realitas keindonesiaan. Menurut aliran pemikiran ini, Islam tidak bisa menghegemonik dalam panggung politik Indonesia karena para pemimpin dan aktivis politik Islam yang terdahulu mematok pandangan keagamaan tentang urusan-urusan duniawi (politik) dalam cara yang formalistic, legalistic atau skripturalistik dalam orientasinya. Menurut mereka, rumusan teologi semacam ini diubah atau sedikitya dibuat menjadi lebih fleksibel dan adaptif, maka kemungkinan sebuah sintesis yang harmonis antara islam dan Negara dapat di bangun.
Dengan melakukan Pembaruan Teologis, diharapkan pemahaman kaum Muslimin terhadap pesan-pesan islam tidak menjadi Stagnan. Yang lebih penting lagi, seraya bersandar pada suatu keyakinan bahwa Islam itu abadi, holistic dan universal, kaum Muslimin tidak akan kehilangan pegangan dalam menghadapi tantangan modernitas. Mereka akan mampu mengadakan dialog yang produktif dan cerdas antara universalitas ajaran Islam dengan kekhasan ruang dan waktu Indonesia.
Berdasarkan pada pemikiran-pemikiran yang fundamental tersebut, para penganut pemikiran ini menyerukan corak perjuangan politik Islam yang lebih substantive, tidak bersifat simbolis, di mana programlah bukannya idiologi partisan yang menjadi orientasi utama.
Aliran pemikiran yang kedua adalah Reformasi Politik. Para penganut aliran ini berkeyakinan bahw masalah tidak harmonisnya hubungan antara Islam politik dan Negara, beserta akibat-akibatnya yang dirasakan oleh para aktivis Politik Islam, dapat perlahan-lahan diatasi dengan cara melibatkan diri secara langsung dalam urusan utama proses-proses politik dan birokrasi Negara.
Alasan yang mendasari asumsi ini adalah bahwa ; pertama, pendekatan ini tidak menempatkan Islam dalam posisi yang berhadap-hadapan dengan Negara. Aliran pemikiran ini bahkan mengharuskan adanya peninjauan kembali terhadap cita-cita politik yang sudah dicanangkan para aktivis Politik Islam sebelumnya.
Mereka tidak melihat upaya menajdikan Islam sebagai dasar Negara harus diperjuangkan dengan harga apapun oleh Umat Islam. Mereka percaya bahwa yang harus diperjuangkan adalah berlangsungnya tantanan social-politik Negara, sehingga Umat Islam dapat menjalankan ajaran-ajaran agama mereka dengan bebas. Sejalan dengan itu, mereka menyatakan bahwa perjuangan Islam dalam perpolitikan Indonesia Kontemporer tidak boleh menekankan corak ideologisnya yang formal.
Kedua,berkaca pada sejarah, para aktivis Politik Islam tidak pernah memainkan peranan penting dalam lembaga-lembaga Negara dan kantor-kantor birokrasi. Fenomena ini dapat menjelaskan bukan saja posisi pinggiran para aktivis Islam Politik di lembaga-lembaga Negara dan kantor-kantor birokrasi, melainkan juga sikap dan langkah yang relative mengambil jarak dari Negara, padahal secara sosiologis sebenarnya ada keharusan intrinsic dari para aktivis Politik Islam untuk memainkan kebijaksanaan di Indonesia.
Hal itu semata-mata karena Umat Islam adalah kelompok masyarakat terbesar di Negara ini. Mereka berkeyakinan bahwa untuk membangun tradisi memerintah yang kuat, maka dirasa penting untuk tetap menjalin hubungan yang harmonis dengan lembaga-lembaga politik dan birokrasi yang ada.
Para pendukung aliran ini pada umumnya menyatakan bahwa para pemimpin dan aktivis Islam politik baru dapat memainkan peran secara efektif dalam proses-proses pembuatan kebijakan Negara jika mereka memasuki lembaga-lembaga politik dan birokrasi formal.
Ketiga, seluruh pendekatan dan strategi diatas merupakan langkah-langkah yang harus diambil untuk memulihkan kembali harga diri dan citra para aktivis Politik Islam yang pada umumnya dipandang sebagai sarana kecurigaan, bukan “orang dalam” atau kelompok minoritas dalam proses-proses politik Indonesia.
Dan lebih penting dari itu, strategi-strategi tersebut juga penting untuk membangkitkan kembali rasa keterikatan Umat Islam terhadap berbagai persoalan Negara yang sudah merosot yang antara lain dikarenakan oleh kekalahan-kekalahan politis di masa lalu.
Dengan pertimbangan-pertimbangan diatas, para pendukung aliran ini berharap bahwa pembaruan politik dan partisipasi birokratis akan dapat mengatasi hubungan yang tidak harmonis antara Islam dan Negara.
Aliran pemikiran ketiga adalah Transformasi Sosial. Aliran ini lebih berorientasu pada pemberdayaan masyarakat ekonomi lemah. Untuk itu, aliran ini lebih peduli pada bagaimana cara mengatasi masalah-masalah yang lebih kongkret dan mendesak daripada masalah Ideologi, yang dihadapi masyarakat Indonesia secara keseluruhan, yang notabene sebagian besar beragama Islam.
Dalam hal ini mereka lebih tertarik untuk melihat pengaruh-pengaruh social ekonomi dan politik dari kebijakan pemerintah yang lebih menekankan stabilitas dan pertumbuhan ekonmi dengan risiko dikesampingkannya social politik rakyat dan pemerataan. Dalam mengatasi masalah-masalah yang mendesak itu, mereka menerapkan pendekatan-pendekatan empiric dan bertindak tidak konfrontatif”.
Nampak sekali bukan perbedaannya dengan prinsip pertama dalam Rukun Al Fahmu ? Maka pendekatan yang kita lakukan adalah harus bersifat holistic dan komprehensif.
Peranan Rukun Al Ukhuwah dalam Bingkai Jihad Siyasi
Imam Syahid Hasan Al Banna mengatakan Ukhuwah sebagai berikut:
Yang saya maksud dengan ukhuwah adalah terikatnya hati dan ruhani dengan ikatan aqidah.Aqidah adalah sekokoh-kokohnya dan semulia-mulianya ikatan. Ukhuwah adalah saudaranya keimanan sedangkan perpecahan adalah saudaranya kekufuran. Kekuatan yang pertama adalah kekuatan persatuan. Tidak ada persatuan tanpa cinta kasih. Standar minimal cinta kasih adalah kelapangan dada dan standar maksimal adalah itsar (mementingkan orang lain dari diri sendiri).”
Barangsiapa dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung (Al-Hasyr:9)
Akh yang tulus melihat saudara-saudaranya lain lebih utama dari dirinya sendiri, karena jika tidak bersama mereka, ia tidak bisa bersama yang lain. Sememtara mereka jika tidak bersama dengan dirinya bisa bersama yang lain. Sesungguhnya Srigala hanya akan memakan Domba yang terpisah sendirian. Seorang Mukmin dengan Mukmin lainnyaibarat sebuah bangunan, yang satu mengokohkan yang lain.
Orang-orang mukmin laki-laki dan orang-orang mukmin perempuan, sebagian mereka menjadi pelindung bagi lainnya (At-Taubah:71)[18]
Lalu Ustadz Sa’id hawwa Memberikan komentar:
1. Ahmad Syauqi berkata,”kawan kala berpolitik, musuh kala berkuasa.” Persaudaraan di kalangan anggota berbagai institusi politik tidak akan terjalin kokoh. Hal ini disebabkan persaingan sesame mereka untuk mendapatkan posisi maupun keuntungan materi. Memang, unsure materi jika memasuki suatu wilayah pasti akan merusaknya. Mengomentari hubungan persaudaraan semacam ini, sebagian mereka mengatakan,”musuh dalam selimut adalah sahabat terbuka.” Hal yang serupa dengan ini tidak mungkin mendasari tegaknya Islam dan tidak mungkin mewujudkan cita-citanya. Oleh karenanya, persaudaraan (ukhuwah) yag hakiki menjadi salahsatu rukun Bai’at.
2. Imam Hasan Al Banna menunjukkan kepada kita beberapa indicator, yang dengannya kita mengetahui adanya persaudaraan, yakni rasa cinta. Standar minimal dari rasa cinta ini adalah bersikap lapang dada sesama akhul muslim. Sedangkan standar maksimal adalah itsar (mementingkan orang lain atas diri sendiri) kepada sesama manusia atas urusan dunia, seperti pangkat dan kedudukan. Cinta tidak dapat terwujud dalam suatu barisan kecuali seseorang bersikap zuhud terhadap harta yang ada di tangan orang lain. Rasulullah bersabda:
“zuhudlah engkau terhadap dunia, niscaya Allah akan mencintaimu, dan zhudlah engkau terhadap harta yang berada di tangan orang lain, niscaya orang lain akan mencintaimu.
3. Tidak ada yang dapat melanggengkan ukhuwah kecuali taat kepada Allah dan menjauhi larangannya.
4. Tiada sesuatu yang mencegah runtuhnya Ukhuwah selain iman dan amal Shalih.
5. Musuh Allah Iblis sangat membenci terbangunnya Ukhuwah dan kasih sayang sesama da’i.[19]
Peranan Rukun At Tsiqoh Dalam Bingkai Jihad Siyasi
Iman Syahid Hasan Al Banna berkata mengenai Tsiqoh:
” yang saya maksud dengan Tsiqoh (kepercayaan) adalah rasa puasnya seorang tentara atas komandannya, dalam hal kapasitas kepemimpinannya maupun keikhlasannya, dengan kepuasan yang mendalam yang menghasilkan perasaan cinta, penghargaan, penghormatan dan ketaatan.
Demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman sehingga mereka menjadikan kamuhakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka keberatan terhadap sesuatu keputusan yang kamu berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya (An-Nisa’:65)
Pemimpin adalah unsur penting dalam dakwah, tidak ada dakwah tanpa kepemimpinan. Kadar kepercayaan yang timbale balik antara pemimpin dan pasukan menjadi neraca yang menentukan sejauhmana kekuatan system jamaah, ketahanan khittahnya, keberhasilannya dalam mewujudkan tujuan dan ketegarannya dalam menghadapi berbagai tantangan.
Maka lebih utama bagi mereka; ketaatan dan perkataan yang baik.
Kepemimpinan dalam dakwah Ikhwan menduduki posisi orangtua dalam ikatan hati; posisi guru dalam fungsi pengajaran; posisi syekh dalam aspek pendidikan ruhani; posisi pemimpin dalam aspek penentuan kebijakan politik secara umum bagi dakwah. Dakwah kami menghimpun pengertian ini secara keseluruhan dan tsiqah kepada pemimpin adalah segala-galanya bagi keberhasilan dakwah. Oleh karena itu akh yang tulus harus bertanya kepada diri sendiri tentang hal ini untuk mengetahui sejauh mana kepercayaan dirinya terhadap pemimpin dengan pertanyaan sebagai berikut :
1. Apakah sejak dahulu ia mengenal pemimpinnya dan apakah ia pernah mempelajari riwayat hidupnya ?
2. Apakah ia percaya pada kapasitas dan keikhlasannya ?
3. Apakah ia siap menganggap semua instruksi yang diputuskan oleh pemimpin, tentu saja tanpa kemaksiatan sebagai instruksi yang harus dilaksanakan tanpa reserve, tanpa ragu, tanpa ditambah dan tanpa dikurangi dengan keberanian memberi nasehat dan peringatan untuk tujuan yang benar.
4. Apakah ia siap menganggap dirinya salah dan pemimpinnya benar jika terjadi pertentangan antara apa yang diperintah oleh pemimpin dan apa yang ia ketahui dalam masalah-masalah ijtihadiyah yang tidak ada teksnya dalam syariat ?
5. Apakah ia siap meletakkan semua aktivitas kehidupannya dalam kendali dakwah ? apakah dalam pandangannya pemimpin memiliki hak untuk mentarjih (menimbang dan memutuskan) antara kemaslahatan dirinya dan kemaslahatan dakwah secara umum ?
Dengan jawaban yang disampaikan atas pertanyaan-pertanyaan tersebut atau yang semacamnya, akh dapat mengetahui sejauhmana kadar ikatan dan kepercayaan terhadap pemimpin. Adapun hati, ia berada dalam genggaman Allah; dia yang menggerakkan sekehendaknya
Walaupun engkau nafkahkan semua yang ada di bumi, niscaya engkau tidak akan dapat menyatukan hati mereka. Akan tetapi Allahlah yang mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia maha perkasa lagi maha bijaksana (Al-Anfal:63)[20]
Sehubungan dengan Tsiqah yang berhubungan siyasi saya akan mengambil penjelasan dari Ust. Rahmat Abdullah Rahimahullah :
Bila seluruh ban, rangka dan badan mobil terendam lumpur, maka piranti tempat perapian tidak boleh tercemar. Hal yang paling sulit dalam hubungan antara Jundi dan Qiyadah ialah ketentraman hati terhadap kafaah (Keahlian), keikhlasan dan ketaatan antar mereka. Adalah dua titik ekstrim yang selalu dominan dalam kisah hubungan antara pengikut dan terikut, yaitu, satu sisi ada komunitas yang menganggap pemimpin adalah segala-galanya, sementara di sisi lain ada yang menganggap dirinya sentral, sehingga seperti apapun seorang pemimpin harus ditakar dengan puas tidaknya diri.[21]
Beliau juga menjelaskan bahwa Tsiqah erat kaitannya dengan kekuatan. Sehingga beliau menjelaskan rasa Tsiqah Umar kepada Abu Bakar sebagaimana berikut :
Apa yang membuat Umar begitu percaya kepada kekuatan Abu Bakar, padahal ia mendapatkan pengakuan Rasulullah :” Allah meletakkan kebenaran di Lidah dan hati Umar?” jawabnya: Tsiqah. Ketika pandangan mayoritas sababat berpihak pada Umar untuk tidak memerangi orang menolak membayar zakat dan Abu Bakar bersikukuh memerangi mereka, akhirnya Umar mengambil pandangan Abu Bakar. “ Demi Allah, tak lain yang kulihat kecuali Ia telah melapangkan hati Abu Bakar untuk berperang, maka akupun tahu bahwa itu kebenaran.” Suatu hari seseorang bertanya kepada Imam Hasan Al Banna,” bila keadaan memisahkan hubungan kita, siapa yang anda rekomendasikan untuk kami angkat jadi pemimpin ?”. Jawabnya tegas,” Wahai Ikhwan, silahkan angkat orang yang paling lemah, kemudian dengar dan taatilah ia, niscaya ia akan menjadi orang paling kuat diantara kalian.”
Jadi tsiqah adalah sikap manusia normal yang menyadari keterbatasan masing-masing lalu saling menyetor saham sebagai modal bersama, untuk kemudian menikmati kemenangan bersama.[22]
Dalam dunia siyasi ada beberapa hal yang dapat mengguncang Tsiqah:
1. Internal: kemalasan menggali ilmu, berkonsultasi, meningkatkan kulitas ruhiyah dan fikriyah.
2. Eksternal: interfensi jorok media massa yang selalu mencitrakan kesetaraan kejujuran dan profesionalisme, namun pada saat yang bersamaan bersikap ragu-ragu, memfitnah dan berbuat curang terhadap dakwah.[23]
Beberapa Catatan Tentang Tsiqoh
Ustadz Said Hawwa memberikan beberapa catatan mengenai Tsiqah yaitu :
1. Diantara banyak kesalahan pemimpin yaitu menuntut tsiqah tanpa membayar maharnya.
2. Kesalahan pemimpin lainnya adalah mereka juga tidak bisa menanamkan tsiqoh dalam dirinya kepada pimpinan diatasnya.
3. Jangan memberikan tugas kepada orang yang tidak mampu menunaikannya.
4. Berusahalah sebagai seorang pemimpin agar setiap keputusannya argumentative, kecuali saat-saat darurat.
5. Tsiqah yang sebenarnya menurut Imam Hasan Al Banna, semua instruksi mutlak di taati sepanjang subtansinya bukan untuk maksiat.
6. Pemecahan yang harus dilakukan kalau ada masalah dengan tsiqah: mengungkapkan persoalannya secara jelas dan bekerjasama mencari solusinya.
7. Seorang yang tidak tsiqoh harus secepatnya dievaluasi.
8. Ukhuwah adalah dasar tsiqoh. Maka tabayyun (chek and recheck) dalam nuansa ukhuwah perlu dilakukan dalam rangka memupuk tsiqoh.
9. Tsiqoh dijadikan rukun Baiat karena:
o Kita adalah Harakah diniyah ukhrawiyah (gerakan keagamaan yang berorientasi akhirat)
o Kita suatu gerakan dakwah yang mewujudkan cita-cita lokal dan internasional
o Program sebanyak apapun tidak akan berguna bila tidak ada yang melaksanakannya. [24]
Penutup
Demikianlah fungsi Akanul Bai’ah dalam bingkai Jihad siyasi. Semoga dengan makalah yang singkat ini membuka cakrawala kita dalam berjihad siyasi nantinya. Dengan pemahaman yang utuh, amal-amal yang kita lakukan akan menjadi ringan karena adanya kerjasama dan ukhuwah. Gerak rentak dakwah ini akan selaras dan harmonis apabila ada ketsiqohan antara pemimpin yang di pimpin. Semoga Allah membantu kita semua untuk selalu istiqomah.Amien.
Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan (Q.S Hud: 112)

[1] Dr. Ali Abdul Halim Mahmud, Syarah Ar Kanul Bai’ah 1 Alfahmu cetakan Pertama (Solo:Media Insani, 2006), hal. 33.
[2] Ibid.,hal. 34.
[3] Ibid., hal 37.
[4] Hasan Al Banna, Kumpulan Risalah Dakwah Hasan Al Banna Jilid 1(Jakarta Timur: Penerbit Al I’thishom Cahaya Umat, 2005), hal. 285.
[5] Dr. Ali Abdul Halim Mahmud, Syarah, Op.cit., hal. 25.
[6] Ibid., hal. 25-26
[7] Dr.Ali Abdul Halim Mahmud, Rukun Jihad Cetakan Pertama (Jakarta Timur: Penerbit Al I’tishom Cahaya Umat, 2001), hal . 31-33.
[8] Abu Ridha, ‘Amal Siyasi Gerakan Politik dalam Dakwah (Bandung: Syamil Cipta Media, 2004), hal. 13.
[9] Dr.Utsman Abdul Mu’iz Ruslan, Pendidikan Politik Ikhwanul Muslimin Cetakan Pertama (Solo: EraIntermedia, 2000), hal. 69.
[10] Silahkan lihat buku : Abu Ridha, ‘Amal Siyasi Gerakan Politik dalam Dakwah (Bandung: Syamil Cipta Media, 2004), hal. 16-23. Diterangkan panjang –lebar mengenai pembahasan masalah ini. Dilengkapi dengan teks hadistnya.
[11] Risalah Muktamar Al Khamis (Muktamar V). Prof.Dr.Taufiq Yusuf Al Wa’iy, Pemikiran Politik Kontemporer Al Ikhwan Al Muslimun Cetakan Pertama (Solo: Era Intermedia,2003) hal. 41.
[12] Ibid.
[13] Dr. Yusuf Al Qaradhawi, Menyatukan pemikiran Para Pejuang Islam Cetakan Pertama (Jakarta: Gema Insani Press), hal. 23.
[14] Dr. Abdul Halim Mahmud, Merajut Benang-Benang Ukhuwah cetakan Pertama (Solo: Era Intermedia, 2000), hal. 12-13
[15] Dr. Yusuf Al Qaradhawi, Menyatukan pemikiran Op.cit.
[16] Hasan Al Banna, Surat Terbuka Untuk Kader Dakwah cetakan keenam (Jakarta: Al I’thishom Cahaya Umat), hal. 6-7
[17] Ibid., hal.15
[18] Sa’id Hawwa, Membina Angkatan Mujahid Cetakan Kelima(Solo: Era Intermedia, 2005), hal. 176
[19] Ibid., hal. 176-177
[20] Ibid., hal. 177-179
[21] Rahmat Abdullah, Untukmu Kader Dakwah Cetakan Lima (Jakarta: Tim Pustaka Da’watuna, 2006), hal. 102
[22] Ibid., hal 104
[23] Ibid., hal. 105-106
[24] [24] Sa’id Hawwa, Membina..Op.Cit hal. 179-181