Senin, 17 Oktober 2011

Peran Sejarah Melayu di Riau[1]


Peran Sejarah Melayu di Riau[1]
Eddy Syahrizal[2]

Overview Makalah
Prolog
Penulisan Sejarah di Riau
Budaya Melayu dalam Sejarah
Peran Melayu Riau dan Muslim Riau dalam Sejarah Indonesia
Epilog
**************************************************************************************
Prolog
Membaca sejarah nenek moyang adalah suatu hal yang meninggalkan kesan yang mendalam di jiwa kita, apatah lagi apabila kita baca dengan cinta. Kian dia baca kian terbayanglah masa-masa yang lampau akan meninggalkan jejak untuk menghadapi zaman kini dan zaman depan.
Dalam sejarah kita melihat betapa mereka itu, nenek moyang kita telah menanamkan dasar-dasar bagi berdirinya pusaka suci yang kita perjuangkan sekarang.
Meninjau sejarah hendaklah kita seakan-akan merasai kita turut dengan mereka. Sebab rasa hati kita sekarang, suka duka kita sekarang, suka duka kita sekarang, adalah rasa hati dan suka duka yang mereka telah tinggalkan buat kita.
Kadang-kadang kita berjumpa dongeng-dongeng yang sepintas lalu kita merasa itu khayal belaka, cerita yang tidak-tidak. Tetapi apabila kita tukikkan pandang dan kita renungkan lebih mendalam, akan kelihatanlah khayal itu akan mengandung kebenaran. Dalam yang tersurat nampak yang tersirat. Ternyata dongeng adalah mengandung filsafat. [3]
Aku melihat dunia hari ini
Orang-orang islam ibarat digenggam
Belenggu orang-orang kafir
Akhirat mereka luput duniapun tercicir
Budaya jahil tidak diambil peduli
Melampau-lampau dalam hiburan
Khayalan keterlaluan
Luas-luas membanjir
Teruk tak tertaksir orang-orang yang karam
Barus, Singkel, Pasai, Ranir, Cordoba, Baghdad, Andalus
Hilang…hilang di telan zaman
Kita lupa semua jawaban persoalan kehidupan
Yang mahir di hapal
Mampukah kita nak jawab di depan Mungkar dan Nangkir nanti?
Setengah-setengah orang kata, sejarah ini ibarat pentas bermain wayang
Cerita-cerita lampau di hurai dipanjang-panjangkan
Bila tamat diulang dan diulang… ulang kembali
Itulah sejarah
Kalau begitu takkanlah mustahil
Untuk giliran Islam pula yang mendatang
Tamadun kita yang lama dahulu yang indah gemilang
Hidup semula, kembali segar bugar, terbentang di dunia yang luas
(Puisi Syed Naquib Al Attas) [4]
Dimanakah pengganti Umar Ibnul Khattab hari ini ? Siapakah pewaris shalahudin al-Ayyubi hari ini? Dimanakah pemuda-pemuda seperti Sultan Muhammad Al-Fatih di zaman ini? Mereka inilah yang ingin kita contohi hari ini. Apakah anda hanya ingin melihat? Bergoyang kaki menutup mata? Ayolah bangkit! Adakah kau masih lupa kita pernah Berjaya, memayungi dunia menebar berkah ke seluruh maya pada?
Di negeri ini tiada lagi lahir sosok Hang Tuah Penjaga Pusaka Negeri, Raja Ali Haji Kota Ilmu Melayu, Sultan syarif Qasim yang mendidik bangsa dengan ilmu,  berjiwa satria, menguasai dunia dengan kehalusan budi. Mereka bagaikan bunga-bunga yang mekar di taman peradaban, harum, mewangi menebar kesturi.
Penulisan Sejarah di Riau
Pidato Prof. Dr.HAMKA dalam seminar Sejarah Riau, Prakarsa Universitas Riau (UNRI) di Pekanbaru tanggal: 20-25 Mei 1975.[5]
Budaya Melayu dalam Sejarah
Bismillahirahmanirahim
Ba'da tahmid dan shalawat

Pertama saya mohon maaf, karena kondisi saya tidak begitu bagus, dari pagi tekanan darah saya 100/70,dokter bilang Pak Tenas hati-hati jangan sampai jatuh.  Kemudian suara saya juga mengalami sedikit gangguan, karena sudah 40 hari tidur di rumah sakit, jadi sangat-sangat tidak menguntungkan untuk berbicara pada hari ini.  Tetapi ketika saya baca acara tajam yang bermakna tuah jati melayu, saya berusaha untuk memenuhi jemputan ini, karena ini adalah untuk kepentingan melayu dalam arti yang luas.  Dan saya mohon maaf saya tidak dapat membuat makalah, barangkali saya berbicara apadanya, mudah-mudahan ada manfaatnya bagi kita semua. Kedua saya dengan penuh khusu' dan rendah hati serta terharu mengucapkan terima kasih yang tiada hingga, atas doa terhadap istri saya, semoga Allah mengabulkannya, memberikan pahala kepada kita semua kepada bapak-bapak-ibu-ibu, diberikan rahmat, karunia taufik dan hidayahnya. 

Yang saya hormati pengurus tajam, sahabat saya Chaidir yang sudah lama tidak bersua, kemudian adinda Junaidi Syam yang saya sudah baca bukunya mengenai rokan, tambo-tambo rokan, di malaysia di katakan taromba, di pesisir di katakan tambo, di kepualauan di katakan salisah dan saya baca cukup lengkap yang beliau tulis itu. Ada hal yang menarik barangkali yang perlu kita baca pada hari ini.

 Pertama, organisasi tuah jati melayu, menyebut kata-kata tuah saya menengok pada kata-kata laksamana Hangtuah, yang mengatakan," Tuah sakti hamba negeri, esa hilang dua terbilang, patah tumbuh hilang berganti, takkan melayu hilang di bumi. Di malaysia pak konsul dikatakan, takkan melayu hilang di dunia. Cuman  sayangnya tiga kalimat pertama itu, hampir tidak pernah di sebut orang.

Baik di sini, di malaysia, dan dimanapun selalu mengatakan, takkan melayu hilang didunia, atau takkan melayu hilang di dunia, padahal kalimat yang keempat itu, muncul setelah kalimat pertama yang mengatakan tuah sakti hamba negeri, dan tuah ini pada tahun 70 dijadikan pataka polada riau sampai sekarang, memakai pataka tuah sakti hamba negeri, yang maksudnya itu tuah, kejayaan, keutamaan yamg memiliki  semua itu harus mengabdi kepada negeri, menjadi hamba kepada negerinya, kepada masyarakat bangsa dan negaranya. Nah kata tuah didalam organisasi ini, tuah jati melayu, barangkali dapat dikaitkan kesana, dari jati dirinya itu memancar tuah, marwah, yang dapat mengangkat harkat dan martabat  melayu dalam arti yang seluas-luasnya.

 Tadi di dalam pidato pembukaan ketua yayasan ini dan juga ketua penyelenggara dikatakan mana melayu itu sendiri, karena sampai saat sekarang ini bermacam-macam pendapat orang mengenai melayu, tetapi ketika dunia melayu dunia Islam di gagas pada tahun 2000 di malaka , pada waktu itu ada semacam kesepakatan yang mengatakan bahwa melayu itu, pertama berdasarkan kepada ras,  polinesia  jadi melayu dalam arti luas, didunia ini ada sekitar 400 juta lebih ras melayu itu sendiri , kemudian melayu yang dikatakan dalam puak-puak atau dalam rantau melayu, atau yang dinamakan melayu serumpun  ini juga hampir sama banyaknya, yang ketiga melayu menurut nilai, agamanya Islam, adatnya melayu, atau budayanya melayu dan berbahasa melayu, ia syah dianggap sebagai orang melayu.

 Asalnya dari cina, arab jepang, eropa darimanapun asalnya tidak menjadi masalah. Kalau dia sudah menganut agama Islam, beradat istiadat atau berbudaya melayu dan berbahasa melayu dia syah menjadi orang melayu. Dan ini yang dianut oleh dunia melayu dunia Islam, termasuk oleh orang-orang  melayu di riau, melayu di malaysia, melayu di filipina, di thailand di brunai, dan sebagainya. Jadi melayu dalam arti yang sangat-sangat luas. Itu sebabnya maka di riau ini, kerajaaan-kerajaan melayu di pimpin oleh sebagian orang arab, siak umpamanya di pimpin oleh keturnuan arab, yang terakhir sultan syarif qosim menjadi pahlawan nasional. Dia syah orang melayu, kemudian di dalam puak-puak orang melayu ini dianggap semuanya adalah melayu, bugis melayu, minang melayu, jawa melayu dan segala macam itu menjadi melayu, dalam arti yang seluas-luasnya, pengertian inilah yang menyebabkan  dahulunya di riau ini, terjadi perbauran yang menyeluruh, sejarah mencatat bahwa, ketika ekspedisi pamalayu, pada tahun 1275 kalau saya tidak salah, nanti tolong dibetulkan oleh anda semua, ekspedisi pamalyu yang dilakukan kerajaan singosari itu datang ke kawasan ini, bermukim disni dan konon kabarnya, pertama masyarakat jawa bermukim di bumi riau ini.

 Kemudian saat malaka di serang portugis pada tahun 1511 adipati unus dari demak datang membantu malaka  melawan portugis, dan itu adalah ekspedisi jawa yang kedua membantu melayu, ketika sultan mahmudsyah terusir dari   malaka, sebagian besar keturunannya tinggal di tanah semenanjung, dan membangun perkampungan-perkampungan yang sampai sekarang masih ada kampung jawa di malaka, dan sesudah itu berangsur-angsur jawa masuk ke tanah ini, sehingga banyak masyarakat melayu riau yang berketurunan dan berdarah jawa.

 Bugis juga demikian, pertama kali bugis memegang peranan dalam pemerintahan di Riau adalah ketika daeng marewa datang 1723 diangkat oleh sultan sulaiman Badarulalam syah menjadi yang dipertuan muda riau yang pertama. Padawaktu itu terjadi persumpahan dengan alquran  yang mengatakan pada saat ini adinda daeng marewa saya angkat sebagai yang dipertuan muda riau yang pertama, maka mulai saat ini menyatulah melayu riau dengan bugis, bagai menyatunya mata putih dengan mata hitam, rusak yang putih binasa yang hitam, rusak yang hitam binasa yang putih, dan keturunan mereka tidak memakai gelar bugis, tidak memakai gelar tengku melayu, tetapi memakai gelar raja, salah seorang keturunan mereka adalah raja haji said fisabilillah menjadi pahlawan nasional , dan raja ali haji cucunya menjadi sastrawan nasional kita juga. Yang terkenal dengan gurindam 12nya. Jadi-bila tuan-tuan puan-puan ke kepulauan riau ketemu raja-raja mereka adalah keturunan antara bugis dengan melayu. Intinya masyarakat melayu riau sangat egaliter dan mengutamakan kebersamaan tanpa melihat ras dan kesukuan.

Beliau lalu menerangkan lagi terjadinya pengotakan kembali di melayu riau karena isu putra daerah yang sempit. Beliau mengatakan, tidak akan ada lagi tokoh yang bisa mempersatukan Riau dengan adanya isu putra daerah yang sempit.

Beliau juga selanjutnya menerangkan mengenai kedekatan budaya melayu dengan Islam. Sehingga ada ungkapan adat bersandi syara', syara' bersandi kitabullah. Namun beliau juga menerangkan saat sekarang ini juga sudah mulai dilupakan, bahkan di beberapa daerah tidak mengenal lagi istilah ini dan tidak mengerti maknanya. [6]


Peran Melayu Riau dan Muslim Riau dalam Sejarah Indonesia
Kerajaan Melayu Riau, Bagian dari Sejarah Indonesia Atau Malaysia?

Pengakuan bahwa bahasa Melayu yang menjadi teras bahasa Indonesia adalah bahasa Melayu Riau, secara implisit berarti juga pengakuan tentang adanya satu pusat kekuasaan yang telah memberi ruang dan kesempatan bahasa dan sastra Melayu itu tumbuh dan berkembang sehingga menjadi aspek budaya yang tinggi nilainya. Itu berarti tak lain kesultanan Melayu Riau lah yang menjadi pusat kekuasaan dan pendorong pertumbuhan budaya tersebut.

Bagi masyarakat Melayu, di Riau terutama pengakuan itu tampaknya sangat penting dan melibatkan emosi. Sebab bagaimanapun selama ini, sekalipun bahasa Melayu diakui telah memberikan sumbangan yang tidak ternilai harganya terhadap pengembangan kebudayaan nasional, namun induk yang  membesarkannya hampir tak mendapat tempat yang wajar. Contohnya tak begitu sulit untuk dicari, dan orang cukup melihat buku sejarah nasional Indonesia (Nugroho Notosusanto, Dkk, 1975) yang dianggap sebagai buku babon (standar) bagi penulis sejarah Indonesia. Disitu peranan dan kedudukan Kerajaan Melayu Riau nyaris tak pernah disentuh dan disebut-sebut, bahkan tenggelam dalam kebesaran kekuasaan lain, seperti Aceh.

Lolosnya kerajaan Melayu Riau dari catatan sejarah Nasional itu, kemudian tentu saja menurun ke buku-buku pelajaran sekolah-sekolah yang bersumber dari buku babon tersebut. Di SMPT, atau SMAT misalnya, buku pelajaran sejarah Nasional tak sempat menyebut-nyebut Kerajaan Melayu itu. Apalagi buku pelajaran IPS di sekolah dasar, kecuali yang dipakai di Riau. Mengapa hal demikian bisa terjadi? Apakah sejarah kebudayaan Melayu Riau yang jatuh bangun selama 189 tahun (1722-1911) bukan merupakan bagian sejarah nasional Indonesia, tetapi menjadi bagian sejarah Johor  (Malaysia)? Itulah antara lain pertanyaan-pertanyaan menarik yang sudah bergaung jauh sebelum Seminar Nasional Kebudayaa Melayu  itu berlangsung.

Sayang selama seminar empat hari itu, pernyataan-pernyataan tersebut hampir tak terjawab. Dan ini pun bisa dimaklumi, terutama karena seminar itu bukanlah seminar tentang sejarah, tetapi tentang budaya yang merangkut berbagai hal secara umum. Sehingga, sekalipun dalam kelompok seminar ada kelompok aspek sejarah, tetapi permasalahan yang dibicarakan sangat beragam dan tidak merupakan suatu pembicaraan khusus tentang sejarah politik dan kekuasaan kerajaan-kerajaan yang pernah ada dan memainkan peranannya di kawasan ini. Apalagi cakupan Melayu dalam pengertian seminar tersebut, bukanlah semata-mata terpacu pada Riau, tetapi sedaya upaya ingin merangkum semua kawasan di Indonesia yang merupakan pendukung dari kebudayaan ini.

Pusat Bajak Laut
Dari sebelas makalah tentang aspek sejarah yang diperbincangkan, hanya empat makalah yang secara langsung menyinggung tentang sejarah politik dan kekuasaan kerajaan Melayu di semenanjung, terutama berkaitan dengan Kerajaan Melayu Riau. Salah satu yang cukup mengelitik adalah makalah Dr Onghokham, (UI-Jakarta) yang berjudul “Pemikiran Tentang Sejarah Riau”, sebuah makalah yang tebalnya hanya sembilan halaman.

Dr Onghokham, seperti kebanyakan sejarahwan dari luar Riau, memang masih belum bersedia untuk penegaskan mana yang dimaksud dengan kerajaan Riau itu. Akibatnya selain acuan ruangan dan waktu menjadi sering tidak jelas, juga pengistilahan yang persis tentang kesultanan. Riau itu pun sering berganti-ganti. Kadang-kadang dipakai istilah Kesultanan Riau, kadang-kadang kerajaan Bintan. Kekaburan itu, sama juga dengan penegasan ahli sejarah itu tentang jejak paling jelas dari kesultanan Riau yang dikatakan abad ke-15, berarti hampir bersamaan dengan masa keemasan kerajaan Melayu Malaka (1400-1528). Sedangkan, dalam berbagai penulisan sejarah, terutama oleh sejarahwan Riau dan Malaysia, pengertian Riau itu sendiri baru ada sekitar tahun 1978, ketika Sultan Ibrahim (1677-1685) dari Johor, memindahkan sementara ibukota kerajaannya dari Batu Sawar (Johor) kehulu Riau. Pusat pemerintahan itu kembali ke Johor tahun 1690 pada masa pemerintahan Sultan Mahmudsyah. Bagi kalangan sejarahwan di Riau sekarang ini, Kesultanan Riau baru terwujud tahun 1722, ketika orang-orang Bugis melantik Tengku Sulaiman sebagai Sultan. Bahkan masih ada pendapat lain yang justru mencatat bahwa Kesultanan Riau (yang lebih sering dipakai, Riau-Lingga) baru punya eksitensi politik dan kekuasaan pada saat lahirnya Trakat London (1824), saat wilayah eks Kesultanan Johor dibagi dua. Riau masuk bagian Sultan Riau Lingga dan dibawah pengawasan Belanda dan Singapura dan Johor, menjadi bagian Semenanjung Melaysia di bawah kekuasan Inggris.

Dr Onghokham juga melihat dalam sejarah perkembangannya Kesultanan Riau itu, atau lebih tepat Riau dahulunya itu, dalam percaturan Politik internasional tidak pernah merupakan pusat kekuasaan terpenting atau terbesar. Wilayah itu hanya menjadi pemukiman orang laut dan tempat pelarian raja-raja yang syah, atau dinasti atau wangsa sah sekitarnya digulingkan. Peranan Kesultanan Riau pada tahun-tahun setelah 1511, yaitu sebagai tempat strategis untuk melakukan gerilya laut, seperti untuk menyerang Protugis di Malaka. Sumber-sumber Protugis, menurut Dr Ong, menyebut gerilnya laut yang berpangkat di pulau Bintan itu sebagai bajak laut. Meskipun untuk pengertian ini, Onghokham perlu mengaris bawahi bahwa pada zaman itu, antara perang, politik, perdagangan dan pembajak laut tak banyak bedanya. Aksi Protugis menyerang Malaka 1511 itupun tak lain sama dengan bajak laut. Demikian juga blokade Belanda terhadap Makasar atau Banten abad ke-17.

Tetapi, bagaimanapun, Dr Onghokham membenarkan bahwa dalam soal budaya, Kepulauan Riau tidak kalah dengan sekitarnya. “Dinasti raja-raja Riau mungkin kalah dalam kekuasaan politik dan kalah dalam kekayaan dengan raja-raja sekitarnya. Namun dalam hal budaya mereka tetap unggul”. Begitu kesimpulan Dr Onghokham. Tidak disebutkan faktor apa yang mendorong lahirnya budaya yang unggul itu.

Tampaknya dalam masalah tersebut Dr Onghokham hanya mencoba mengambarkan selintas perkembangan sejarah, di satu kawasan bernama Riau, sebagai salah satu kawasan kerajaan maritim yang dalam pertumbuhannya tenggelam dalam bayang-bayang kebesaran Kesultanan Malaka.

Saham Raja Kecil

Sejarahwan lain yang berbicara dengan acuan yang lebih jelas tentang pengertian Kesultanan Riau itu, adalah Drs Suwardi Ms (UNRI Pekanbaru) dengan makalahnya “Kesultanan Melayu di Riau: Kesatuan dalam Keragaman). Pokok bahasan bukanlah tentang apa dan bagaimana Kesultanan Melayu di Riau itu, melainkan tentang kesatuan dan keragaman pemerintahan dan peranannya dalam menumbuhkan dan mengembangkan nilai-nilai sosial budaya Melayu. Namun, dalam pembicaraan itu pengertian tentang wilayah kesatuaan kekuasaan itu lebih punya batasan dan ruangan serta waktunya.

Suwardi Ms, sejarahwan Riau yang memang sudah cukup banyak mengeluti masalah sejarah yang terjadi dikawasan Riau sekarang ini, memulai pengertian kerajaan-kerajaan Melayu dan berkembang di Riau dari tokoh kontaraversial, Raja Kecil, (Raja Kecik) yang dalam satu perebutan kekuasaan di Kesultanan Johor 1717, berhasil merampas kekuasaan dari tangan Sultan Abdul Jalil Riayatsyah. Raja Kecil, yang dikatakan anak Sultan Johor Mahmudsyah yang mati terbunuh tahun 1699, dan dibesarkan di Minangkabau itu, setelah berhasil merampas tahta kerajaan, kemudian memindahkan kekuasaan itu ke Riau, 1719. Walaupun masa kekuasaan Raja kecil ini di Riau hanya berlangsung empat tahun, namun Suwardi Ms mengganggap Raja kecil sebagi tokoh yang punya andil (saham) besar dalam upaya mewujudkan kembali kesatuan Melayu di Selat Malaka yang dahulu terpecah belah oleh kekuasaan Protugis dan Belanda. Raja kecil yang terusir dari Riau itu, kemudian memilih pusat kekuasaannya yang baru, yaitu Siak,dan kemudian secara bertahap membangun Kesultaanan baru yaitu Kesultanan Siak (1723-1945).

Berdirinya kesultanan Siak, dengan sendirinya mengucapkan pengertian bahwa dikawasan Riau (dalam pengertian geo administrasi sekarang ini) ketika itu, ada dua pusat kekuasaan. Yaitu Riau yang berpusat di Ulu Riau dengan Sultannya Sulaiman Badrul Alamsyah, dan kedua kesultanan Siak dengan penguasanyan Raja kecil. Sekalipun dalam berbagai penulisan, selalu harus ditunjukkan bahwa hulu kedua Kesultanan ini adalah satu, yaitu Kesultanan Johor yang merupakan penerus Malaka. Oleh karenanya banyak juga yang berpendapat bahwa Imperium Melayu di kawasan Semenanjung dan tenggara Asia itu jatuh bangun selama lebih dari lima abad. Dimulai dengan kesultanan Malaka (1400-1528), dilanjutkan Johor (1528-1722), dan ditutup oleh Riau dan Siak yang berakhir tahun 1945. Bahkan mungkin lebih jika dikaitkan dengan munculnya Kesultanan Pahang yang dahulu menurunkan bagian dari wilayah Riau, dan Johor yang kemudian bangkit kembali sesudah Trakat London, 1824.

Namun demikian, dalam kaitan yang lebih khusus, apa yang disebut sebagai Kesultanan Riau itu, adalah eks Kesultanan Johor. Kalau sebelum terjadi perebutan kekuasaan antara keturunan Sultan Malaka dan keturunan Bendahara Tun Habib, Kesultanan Johor itu disebut sebagai Johor, Pahang dan Riau, sesudah perbelahan itu sebutannya menjadi Riau, Johor dan Pahang. Itu bermula dari tahun 1722 saat Sultan Sulaiman dilantik dan menjadikan Riau (dalam hal ini Riau dalam pengertian ibukota dan bukan wilayah) sebagai pusat kekuasaannya. Sementara Johor dan Pahang, keduanya dijadikan daerah pegangan yang masing-masing dikuasai oleh dua Petinggi kerajaan. Johor dibawah seorang Temenggung, dan Pahang  dibawah Bendahara. Tahun 1824, wilayah kekuasaan Riau ini tinggal lagi gugusan pulau Bintan, Lingga, Batam, dan Pulau Tujuh (Natuna). Sedangkan Johor dan Pahang serta Singapura masuk wilayah semenanjung dan berdiri sendiri.

Dipandang dari segi kekuasaan dan kedaulatan sebagai sebuah kerajaan yang merdeka dan berdulat, sebenarnya Kesultanan Riau itu hanya berlangsung tak lebih dari 62 tahun (1722-1784). Sebab, dengan berakhirnya perang Riau (1782-1784) dimana Riau dikalahkan oleh Belanda, maka sejak saat itu Riau sudah sepenuhnya berada dibawah kekuasaan VOC. Dalam perjanjian di atas kapal perang VOC “Utrech”, antara lain disebut bahwa Riau mengakui Belanda sebagai penguasa tertinggi, dan pengantian para Sultan dan Wakil Sultan Harus dengan seizin VOC. Riau ketika itu meskipun punya sultan dan perangkat pemerintahan, toh tak lebih dari sebuah koloni yang dalam pengertian kesombongan VOC disebut sebagai daerah “Anugerah sang ratu dan sebagai pinjaman”. Ketika terjadi peralihan kekuasaan antara Belanda dan Inggris akibat perang Eropa 1795, Riau sempat sekejap menjadi negeri merdeka. Ketika Inggris mengambil alih semua kekuasaan Belanda seperti Malaka, dan negeri-negeri lain di Semenanjung Malaysia, Riau, oleh Inggris dinyatakan bebas dan berarti sendiri. Tetapi akibat berbagi kelemahan pemerintahan ketika itu, Riau kembali jatuh ke dalam kencaman Belanda, 1815, ketika seluruh jajahan Belanda yang diambil alih Inggris dikembalikan.

Tenggelam
Jejak-jejak sejarah yang gelap dan saling berbaur itulah yang kemudian membuat Kesultanan Riau yang secara jelas adanya selama 189 tahun itu, seperti terlepas dari catatan sejarah. Ia seakan tenggelam dalam raupan tentang kebesaran sejarah Johor yang dianggap berlangsung dari 1528 sampai dengan tahun 1824, dan tenggelam dalam pengertian sebuah koloni jajahan Belanda (1824-1913), sebelum akhirnya dihapuskan sama sekali dari daftar administrasi pemerintah kolonial Belanda di Indonesia sebagai daerah kerajaan. Ia hanya menjadi sebuah karesidenan yang kemudian menjadi teras daerah kekuasaan propinsi Riau.

Jejak-jejak sejarah yang tenggelam dalam belukar dan kemudian terus terlupakan itu, bukan cuma diterima oleh Kesultanan Riau, juga Kesultanan Siak. Dalam buku-buku sejarah nasional yang dipelajari di sekolah-sekolah tampaknyaber lawan Sultan Siak terhadap VOC di Guntung dan berhasil membantai habis satu datasemen tentara VOC, tak cukup kuat untuk dicatat. Juga dengan perang Riau 1782-1784 yang menewaskan ribuan- tentara VOC dan menenggelamkan sebuah kapal perang komando VOC “Malaka Walvaren” bersama 300 pasukannya. Padahal dalam berbagai penulisan sejarah asing, seperti buku “Jan Kompeni” (C.R. Boxer, SH-1983) perang tersebut ikut dicatat.

Anti Bugis
Usaha untuk merambas belukar sejarah kerajaan-kerajaan Melayu di Riau itu, bukan tak ada. Di Riau sendiri tahun 1975 sudah ada satu seminar sejarah Riau, yang kemudian tahun 1977 diikuti dengan terbitnya buku “Sejarah Riau” (Mukhtar Luthfi, dkk 1977). Tetapi buku sejarah itu ditangguhkan pengedarannya karena ada bagian isinya yang masih jadi sengketa. Sejak awal buku itu sudak dikencam sebagai kurang obyektif dan banyak mengelapkan fakta sejarah. Dalam pembicaraan tentang Kesultanan Riau misalnya, buku itu dikencam sebagai terlalu “Siak Sentris” dan terlalu “Anti Bugis”.

Peranan yang jernih dari bangsawan dan pengusaha Melayu keturunan Bulgis, disulap demikian rupa dan tenggelam oleh berbagi figur keturunan Melayu asli yang sebenarnya tidak begitu amat menonjol. Upaya untuk mengangkat figur Raja Kecik sebagi tokoh utama pemersatu kekuatan dan kekuasaan orang Melayu setelah Malaka runtuh dan Johor tumbang, membuat penulis sejarah tersebut jadi berat sebelah.

Kepincangan dalam penulisan itu, tampaknya ada kaitan dengan upaya melawan berbagai penulisan sejarah yang sudah ada, terutama hasil kerja para penulis dari Kesultanan Riau sendiri, seperti Raja Ali Hajji dengan Tuhfat Annavis, juga terhadap silsilah Melayu Bugis, yang dianggap terlalu “Bugis sentris” pula dan mengenyampingkan sama sekali hasil kecermelangan beberapa tokoh keturunan Melayu, serta serta menyudutkan figur Raja Kecik sebagai “Si Pembuat Onar”

Sayang pertemuan ilmiah yang sudah memilih aspek sejarah sebagai salah satu masalah yang jadi bahasan, tidak sempat menampilkan penulisan tentang sejarah kesultanan-kesultanan Melayu di Riau dan jernih, sehingga belukar sejarah yang sudah semak samun itu menjadi agak lebih terang. Ada beberapa makalah lain, seperti sejarah Kesultanan Melayu di Sumatera Timur (Tengku Lukman Sinar SH, Medan), tetapi amat sedikit menyentuh tentang Kesultanan Riau yang dianggap sebagai sumber pembentukan bahasa Melayu tinggi itu.[7]


Epilog
Syair Perahu
Inilah gerangan suatu madah
Mengarang syair terlalu indah
Di sanalah jalan tempat berpindah
Di sanalah jalan diperbaiki sudah

Wahai muda kenalilah dirimu
Ialah perahu tamsil tubuhmu
Tiadalah berapa.. lama hidupmu
Ke akhirat jua kekal diammu

Wahai muda arif budiman
Kayuh pengayuh dengan pedoman
Alat perahumu jua kerjakan
Di sanalah jalan memperbaiki Insan

Perteguh jua alat prahumu
Hasilkan bekal air dan kayu
Dayung pengayuh taruhlah di situ
Supayalah laju prahumu itu.
LAMPIRAN

Lampiran 1
Pidato Prof. Dr.HAMKA dalam seminar Sejarah Riau, Prakarsa Universitas Riau (UNRI) di Pekanbaru tanggal: 20-25 Mei 1975
Lampiran 2
Warkah Wasiat Raja Haji Fisabilillah  Pada semua bangsa Melayu
Lampiran 3
Gurindam 12




[1] Disampaikan dalam acara: Talkshow Nasional “Sejarah Indonesia dalam perspektif Baru; Upaya membongkar distorsi sejarah.” 22 September 2011, Gedung Rektorat Lantai IV Universitas Riau.
[2] Direktur Malay Research Foundation, Head Section dari Qolbu Re-Enginering Foundation.
[3] Prof. Dr. Hamka, 1982, Dari perbendaharaan Lama, Hal. VIII
[4]  Puisi Syed Naquib Al Attas dalam video Shift Your Paradigm seri 02
[5] Ada di lampiran 1.
[6] Petikan Notulensi acara seminar Budaya Melayu dalam Perspektif Kekinian (Simbolis atau Subatantif?) yang ditaja oleh Yayasan TAJAM (Tuah Jati Melayu) di Hotel Pangeran Pekanbaru,03 Juni 2010

Tidak ada komentar: