Peran Sejarah
Melayu di Riau[1]
Eddy
Syahrizal[2]
Overview
Makalah
Prolog
Penulisan
Sejarah di Riau
Budaya
Melayu dalam Sejarah
Peran Melayu
Riau dan Muslim Riau dalam Sejarah Indonesia
Epilog
**************************************************************************************
Prolog
Membaca
sejarah nenek moyang adalah suatu hal yang meninggalkan kesan yang mendalam di
jiwa kita, apatah lagi apabila kita baca dengan cinta. Kian dia baca kian
terbayanglah masa-masa yang lampau akan meninggalkan jejak untuk menghadapi
zaman kini dan zaman depan.
Dalam
sejarah kita melihat betapa mereka itu, nenek moyang kita telah menanamkan
dasar-dasar bagi berdirinya pusaka suci yang kita perjuangkan sekarang.
Meninjau
sejarah hendaklah kita seakan-akan merasai kita turut dengan mereka. Sebab rasa
hati kita sekarang, suka duka kita sekarang, suka duka kita sekarang, adalah
rasa hati dan suka duka yang mereka telah tinggalkan buat kita.
Kadang-kadang
kita berjumpa dongeng-dongeng yang sepintas lalu kita merasa itu khayal belaka,
cerita yang tidak-tidak. Tetapi apabila kita tukikkan pandang dan kita
renungkan lebih mendalam, akan kelihatanlah khayal itu akan mengandung kebenaran.
Dalam yang tersurat nampak yang tersirat. Ternyata dongeng adalah mengandung
filsafat. [3]
Aku melihat
dunia hari ini
Orang-orang
islam ibarat digenggam
Belenggu
orang-orang kafir
Akhirat
mereka luput duniapun tercicir
Budaya jahil
tidak diambil peduli
Melampau-lampau
dalam hiburan
Khayalan
keterlaluan
Luas-luas
membanjir
Teruk tak
tertaksir orang-orang yang karam
Barus,
Singkel, Pasai, Ranir, Cordoba, Baghdad, Andalus
Hilang…hilang
di telan zaman
Kita lupa
semua jawaban persoalan kehidupan
Yang mahir
di hapal
Mampukah
kita nak jawab di depan Mungkar dan Nangkir nanti?
Setengah-setengah
orang kata, sejarah ini ibarat pentas bermain wayang
Cerita-cerita
lampau di hurai dipanjang-panjangkan
Bila tamat
diulang dan diulang… ulang kembali
Itulah
sejarah
Kalau begitu
takkanlah mustahil
Untuk
giliran Islam pula yang mendatang
Tamadun kita
yang lama dahulu yang indah gemilang
Hidup
semula, kembali segar bugar, terbentang di dunia yang luas
Dimanakah
pengganti Umar Ibnul Khattab hari ini ? Siapakah pewaris shalahudin al-Ayyubi
hari ini? Dimanakah pemuda-pemuda seperti Sultan Muhammad Al-Fatih di zaman
ini? Mereka inilah yang ingin kita contohi hari ini. Apakah anda hanya ingin
melihat? Bergoyang kaki menutup mata? Ayolah bangkit! Adakah kau masih lupa
kita pernah Berjaya, memayungi dunia menebar berkah ke seluruh maya pada?
Di
negeri ini tiada lagi lahir sosok Hang Tuah Penjaga Pusaka Negeri, Raja Ali
Haji Kota Ilmu Melayu, Sultan syarif Qasim yang mendidik bangsa dengan ilmu, berjiwa satria, menguasai dunia dengan
kehalusan budi. Mereka bagaikan bunga-bunga yang mekar di taman peradaban,
harum, mewangi menebar kesturi.
Penulisan
Sejarah di Riau
Pidato
Prof. Dr.HAMKA dalam seminar Sejarah Riau, Prakarsa Universitas Riau (UNRI) di
Pekanbaru tanggal: 20-25 Mei 1975.[5]
Budaya
Melayu dalam Sejarah
Bismillahirahmanirahim
Ba'da tahmid dan shalawat
Pertama saya mohon maaf,
karena kondisi saya tidak begitu bagus, dari pagi tekanan darah saya
100/70,dokter bilang Pak Tenas hati-hati jangan sampai jatuh. Kemudian suara saya juga mengalami sedikit
gangguan, karena sudah 40 hari tidur di rumah sakit, jadi sangat-sangat tidak
menguntungkan untuk berbicara pada hari ini.
Tetapi ketika saya baca acara tajam yang bermakna tuah jati melayu, saya
berusaha untuk memenuhi jemputan ini, karena ini adalah untuk kepentingan
melayu dalam arti yang luas. Dan saya
mohon maaf saya tidak dapat membuat makalah, barangkali saya berbicara apadanya,
mudah-mudahan ada manfaatnya bagi kita semua. Kedua saya dengan penuh khusu'
dan rendah hati serta terharu mengucapkan terima kasih yang tiada hingga, atas
doa terhadap istri saya, semoga Allah mengabulkannya, memberikan pahala kepada
kita semua kepada bapak-bapak-ibu-ibu, diberikan rahmat, karunia taufik dan
hidayahnya.
Yang saya hormati pengurus
tajam, sahabat saya Chaidir yang sudah lama tidak bersua, kemudian adinda Junaidi Syam yang saya sudah baca bukunya mengenai rokan, tambo-tambo rokan, di
malaysia di katakan taromba, di pesisir di katakan tambo, di kepualauan di
katakan salisah dan saya baca cukup lengkap yang beliau tulis itu. Ada hal yang
menarik barangkali yang perlu kita baca pada hari ini.
Pertama, organisasi tuah jati melayu, menyebut kata-kata tuah saya menengok
pada kata-kata laksamana Hangtuah, yang mengatakan," Tuah sakti hamba
negeri, esa hilang dua terbilang, patah tumbuh hilang berganti, takkan melayu
hilang di bumi. Di malaysia pak konsul dikatakan, takkan melayu hilang di
dunia. Cuman sayangnya tiga kalimat
pertama itu, hampir tidak pernah di sebut orang.
Baik di sini, di malaysia,
dan dimanapun selalu mengatakan, takkan melayu hilang didunia, atau takkan
melayu hilang di dunia, padahal kalimat yang keempat itu, muncul setelah
kalimat pertama yang mengatakan tuah sakti hamba negeri, dan tuah ini pada
tahun 70 dijadikan pataka polada riau sampai sekarang, memakai pataka tuah
sakti hamba negeri, yang maksudnya itu tuah, kejayaan, keutamaan yamg
memiliki semua itu harus mengabdi kepada
negeri, menjadi hamba kepada negerinya, kepada masyarakat bangsa dan negaranya. Nah kata
tuah didalam organisasi ini, tuah jati melayu, barangkali dapat dikaitkan
kesana, dari jati dirinya itu memancar tuah, marwah, yang dapat mengangkat
harkat dan martabat melayu dalam arti
yang seluas-luasnya.
Tadi di dalam pidato pembukaan ketua yayasan
ini dan juga ketua penyelenggara dikatakan mana melayu itu sendiri, karena
sampai saat sekarang ini bermacam-macam pendapat orang mengenai melayu, tetapi
ketika dunia melayu dunia Islam di gagas pada tahun 2000 di malaka , pada waktu
itu ada semacam kesepakatan yang mengatakan bahwa melayu itu, pertama
berdasarkan kepada ras, polinesia jadi melayu dalam arti luas, didunia ini ada
sekitar 400 juta lebih ras melayu itu sendiri , kemudian melayu yang dikatakan
dalam puak-puak atau dalam rantau melayu, atau yang dinamakan melayu
serumpun ini juga hampir sama banyaknya,
yang ketiga melayu menurut nilai, agamanya Islam, adatnya melayu, atau
budayanya melayu dan berbahasa melayu, ia syah dianggap sebagai orang melayu.
Asalnya dari cina, arab jepang, eropa
darimanapun asalnya tidak menjadi masalah. Kalau dia sudah menganut agama
Islam, beradat istiadat atau berbudaya melayu dan berbahasa melayu dia syah
menjadi orang melayu. Dan ini yang dianut oleh dunia melayu dunia Islam,
termasuk oleh orang-orang melayu di
riau, melayu di malaysia, melayu di filipina, di thailand di brunai, dan
sebagainya. Jadi melayu dalam arti yang sangat-sangat luas. Itu sebabnya maka
di riau ini, kerajaaan-kerajaan melayu di pimpin oleh sebagian orang arab, siak
umpamanya di pimpin oleh keturnuan arab, yang terakhir sultan syarif qosim
menjadi pahlawan nasional. Dia syah orang melayu, kemudian di dalam puak-puak
orang melayu ini dianggap semuanya adalah melayu, bugis melayu, minang melayu,
jawa melayu dan segala macam itu menjadi melayu, dalam arti yang
seluas-luasnya, pengertian inilah yang menyebabkan dahulunya di riau ini, terjadi perbauran yang
menyeluruh, sejarah mencatat bahwa, ketika ekspedisi pamalayu, pada tahun 1275
kalau saya tidak salah, nanti tolong dibetulkan oleh anda semua, ekspedisi
pamalyu yang dilakukan kerajaan singosari itu datang ke kawasan ini, bermukim
disni dan konon kabarnya, pertama masyarakat jawa bermukim di bumi riau ini.
Kemudian saat malaka di serang portugis pada
tahun 1511 adipati unus dari demak datang membantu malaka melawan portugis, dan itu adalah ekspedisi
jawa yang kedua membantu melayu, ketika sultan mahmudsyah terusir dari malaka, sebagian besar keturunannya tinggal
di tanah semenanjung, dan membangun perkampungan-perkampungan yang sampai
sekarang masih ada kampung jawa di malaka, dan sesudah itu berangsur-angsur
jawa masuk ke tanah ini, sehingga banyak masyarakat melayu riau yang
berketurunan dan berdarah jawa.
Bugis juga demikian, pertama kali bugis
memegang peranan dalam pemerintahan di Riau adalah ketika daeng marewa datang
1723 diangkat oleh sultan sulaiman Badarulalam syah menjadi yang dipertuan muda
riau yang pertama. Padawaktu itu terjadi persumpahan dengan alquran yang mengatakan pada saat ini adinda daeng
marewa saya angkat sebagai yang dipertuan muda riau yang pertama, maka mulai
saat ini menyatulah melayu riau dengan bugis, bagai menyatunya mata putih
dengan mata hitam, rusak yang putih binasa yang hitam, rusak yang hitam binasa
yang putih, dan keturunan mereka tidak memakai gelar bugis, tidak memakai gelar
tengku melayu, tetapi memakai gelar raja, salah seorang keturunan mereka adalah
raja haji said fisabilillah menjadi pahlawan nasional , dan raja ali haji
cucunya menjadi sastrawan nasional kita juga. Yang terkenal dengan gurindam
12nya. Jadi-bila tuan-tuan puan-puan ke kepulauan riau ketemu raja-raja mereka
adalah keturunan antara bugis dengan melayu. Intinya masyarakat melayu riau
sangat egaliter dan mengutamakan kebersamaan tanpa melihat ras dan kesukuan.
Beliau lalu menerangkan lagi
terjadinya pengotakan kembali di melayu riau karena isu putra daerah yang
sempit. Beliau mengatakan, tidak akan ada lagi tokoh yang bisa mempersatukan
Riau dengan adanya isu putra daerah yang sempit.
Beliau juga selanjutnya
menerangkan mengenai kedekatan budaya melayu dengan Islam. Sehingga ada
ungkapan adat bersandi syara', syara' bersandi kitabullah. Namun beliau juga
menerangkan saat sekarang ini juga sudah mulai dilupakan, bahkan di beberapa
daerah tidak mengenal lagi istilah ini dan tidak mengerti maknanya. [6]
Peran Melayu
Riau dan Muslim Riau dalam Sejarah Indonesia
Kerajaan
Melayu Riau, Bagian dari Sejarah Indonesia Atau Malaysia?
Pengakuan
bahwa bahasa Melayu yang menjadi teras bahasa Indonesia adalah bahasa Melayu
Riau, secara implisit berarti juga pengakuan tentang adanya satu pusat
kekuasaan yang telah memberi ruang dan kesempatan bahasa dan sastra Melayu itu
tumbuh dan berkembang sehingga menjadi aspek budaya yang tinggi nilainya. Itu
berarti tak lain kesultanan Melayu Riau lah yang menjadi pusat kekuasaan dan
pendorong pertumbuhan budaya tersebut.
Bagi
masyarakat Melayu, di Riau terutama pengakuan itu tampaknya sangat penting dan
melibatkan emosi. Sebab bagaimanapun selama ini, sekalipun bahasa Melayu diakui
telah memberikan sumbangan yang tidak ternilai harganya terhadap pengembangan
kebudayaan nasional, namun induk yang membesarkannya hampir tak mendapat
tempat yang wajar. Contohnya tak begitu sulit untuk dicari, dan orang cukup
melihat buku sejarah nasional Indonesia (Nugroho Notosusanto, Dkk, 1975) yang
dianggap sebagai buku babon (standar) bagi penulis sejarah Indonesia. Disitu
peranan dan kedudukan Kerajaan Melayu Riau nyaris tak pernah disentuh dan
disebut-sebut, bahkan tenggelam dalam kebesaran kekuasaan lain, seperti Aceh.
Lolosnya
kerajaan Melayu Riau dari catatan sejarah Nasional itu, kemudian tentu saja
menurun ke buku-buku pelajaran sekolah-sekolah yang bersumber dari buku babon
tersebut. Di SMPT, atau SMAT misalnya, buku pelajaran sejarah Nasional tak
sempat menyebut-nyebut Kerajaan Melayu itu. Apalagi buku pelajaran IPS di
sekolah dasar, kecuali yang dipakai di Riau. Mengapa hal demikian bisa terjadi?
Apakah sejarah kebudayaan Melayu Riau yang jatuh bangun selama 189 tahun
(1722-1911) bukan merupakan bagian sejarah nasional Indonesia, tetapi menjadi
bagian sejarah Johor (Malaysia)? Itulah antara lain pertanyaan-pertanyaan
menarik yang sudah bergaung jauh sebelum Seminar Nasional Kebudayaa
Melayu itu berlangsung.
Sayang
selama seminar empat hari itu, pernyataan-pernyataan tersebut hampir tak
terjawab. Dan ini pun bisa dimaklumi, terutama karena seminar itu bukanlah
seminar tentang sejarah, tetapi tentang budaya yang merangkut berbagai hal
secara umum. Sehingga, sekalipun dalam kelompok seminar ada kelompok aspek
sejarah, tetapi permasalahan yang dibicarakan sangat beragam dan tidak
merupakan suatu pembicaraan khusus tentang sejarah politik dan kekuasaan
kerajaan-kerajaan yang pernah ada dan memainkan peranannya di kawasan ini.
Apalagi cakupan Melayu dalam pengertian seminar tersebut, bukanlah semata-mata
terpacu pada Riau, tetapi sedaya upaya ingin merangkum semua kawasan di
Indonesia yang merupakan pendukung dari kebudayaan ini.
Pusat
Bajak Laut
Dari
sebelas makalah tentang aspek sejarah yang diperbincangkan, hanya empat makalah
yang secara langsung menyinggung tentang sejarah politik dan kekuasaan kerajaan
Melayu di semenanjung, terutama berkaitan dengan Kerajaan Melayu Riau. Salah
satu yang cukup mengelitik adalah makalah Dr Onghokham, (UI-Jakarta) yang
berjudul “Pemikiran Tentang Sejarah Riau”, sebuah makalah yang tebalnya hanya
sembilan halaman.
Dr
Onghokham, seperti kebanyakan sejarahwan dari luar Riau, memang masih belum
bersedia untuk penegaskan mana yang dimaksud dengan kerajaan Riau itu.
Akibatnya selain acuan ruangan dan waktu menjadi sering tidak jelas, juga
pengistilahan yang persis tentang kesultanan. Riau itu pun sering
berganti-ganti. Kadang-kadang dipakai istilah Kesultanan Riau, kadang-kadang kerajaan
Bintan. Kekaburan itu, sama juga dengan penegasan ahli sejarah itu tentang
jejak paling jelas dari kesultanan Riau yang dikatakan abad ke-15, berarti
hampir bersamaan dengan masa keemasan kerajaan Melayu Malaka (1400-1528).
Sedangkan, dalam berbagai penulisan sejarah, terutama oleh sejarahwan Riau dan
Malaysia, pengertian Riau itu sendiri baru ada sekitar tahun 1978, ketika
Sultan Ibrahim (1677-1685) dari Johor, memindahkan sementara ibukota
kerajaannya dari Batu Sawar (Johor) kehulu Riau. Pusat pemerintahan itu kembali
ke Johor tahun 1690 pada masa pemerintahan Sultan Mahmudsyah. Bagi kalangan
sejarahwan di Riau sekarang ini, Kesultanan Riau baru terwujud tahun 1722,
ketika orang-orang Bugis melantik Tengku Sulaiman sebagai Sultan. Bahkan masih
ada pendapat lain yang justru mencatat bahwa Kesultanan Riau (yang lebih sering
dipakai, Riau-Lingga) baru punya eksitensi politik dan kekuasaan pada saat
lahirnya Trakat London (1824), saat wilayah eks Kesultanan Johor dibagi dua.
Riau masuk bagian Sultan Riau Lingga dan dibawah pengawasan Belanda dan
Singapura dan Johor, menjadi bagian Semenanjung Melaysia di bawah kekuasan
Inggris.
Dr
Onghokham juga melihat dalam sejarah perkembangannya Kesultanan Riau itu, atau
lebih tepat Riau dahulunya itu, dalam percaturan Politik internasional tidak
pernah merupakan pusat kekuasaan terpenting atau terbesar. Wilayah itu hanya
menjadi pemukiman orang laut dan tempat pelarian raja-raja yang syah, atau
dinasti atau wangsa sah sekitarnya digulingkan. Peranan Kesultanan Riau pada
tahun-tahun setelah 1511, yaitu sebagai tempat strategis untuk melakukan
gerilya laut, seperti untuk menyerang Protugis di Malaka. Sumber-sumber
Protugis, menurut Dr Ong, menyebut gerilnya laut yang berpangkat di pulau
Bintan itu sebagai bajak laut. Meskipun untuk pengertian ini, Onghokham perlu
mengaris bawahi bahwa pada zaman itu, antara perang, politik, perdagangan dan
pembajak laut tak banyak bedanya. Aksi Protugis menyerang Malaka 1511 itupun
tak lain sama dengan bajak laut. Demikian juga blokade Belanda terhadap Makasar
atau Banten abad ke-17.
Tetapi,
bagaimanapun, Dr Onghokham membenarkan bahwa dalam soal budaya, Kepulauan Riau
tidak kalah dengan sekitarnya. “Dinasti raja-raja Riau mungkin kalah dalam
kekuasaan politik dan kalah dalam kekayaan dengan raja-raja sekitarnya. Namun
dalam hal budaya mereka tetap unggul”. Begitu kesimpulan Dr Onghokham. Tidak
disebutkan faktor apa yang mendorong lahirnya budaya yang unggul itu.
Tampaknya
dalam masalah tersebut Dr Onghokham hanya mencoba mengambarkan selintas
perkembangan sejarah, di satu kawasan bernama Riau, sebagai salah satu kawasan
kerajaan maritim yang dalam pertumbuhannya tenggelam dalam bayang-bayang
kebesaran Kesultanan Malaka.
Saham
Raja Kecil
Sejarahwan
lain yang berbicara dengan acuan yang lebih jelas tentang pengertian Kesultanan
Riau itu, adalah Drs Suwardi Ms (UNRI Pekanbaru) dengan makalahnya “Kesultanan
Melayu di Riau: Kesatuan dalam Keragaman). Pokok bahasan bukanlah tentang apa
dan bagaimana Kesultanan Melayu di Riau itu, melainkan tentang kesatuan dan
keragaman pemerintahan dan peranannya dalam menumbuhkan dan mengembangkan
nilai-nilai sosial budaya Melayu. Namun, dalam pembicaraan itu pengertian
tentang wilayah kesatuaan kekuasaan itu lebih punya batasan dan ruangan serta
waktunya.
Suwardi
Ms, sejarahwan Riau yang memang sudah cukup banyak mengeluti masalah sejarah
yang terjadi dikawasan Riau sekarang ini, memulai pengertian kerajaan-kerajaan
Melayu dan berkembang di Riau dari tokoh kontaraversial, Raja Kecil, (Raja
Kecik) yang dalam satu perebutan kekuasaan di Kesultanan Johor 1717, berhasil
merampas kekuasaan dari tangan Sultan Abdul Jalil Riayatsyah. Raja Kecil, yang
dikatakan anak Sultan Johor Mahmudsyah yang mati terbunuh tahun 1699, dan
dibesarkan di Minangkabau itu, setelah berhasil merampas tahta kerajaan,
kemudian memindahkan kekuasaan itu ke Riau, 1719. Walaupun masa kekuasaan Raja
kecil ini di Riau hanya berlangsung empat tahun, namun Suwardi Ms mengganggap
Raja kecil sebagi tokoh yang punya andil (saham) besar dalam upaya mewujudkan
kembali kesatuan Melayu di Selat Malaka yang dahulu terpecah belah oleh
kekuasaan Protugis dan Belanda. Raja kecil yang terusir dari Riau itu, kemudian
memilih pusat kekuasaannya yang baru, yaitu Siak,dan kemudian secara bertahap
membangun Kesultaanan baru yaitu Kesultanan Siak (1723-1945).
Berdirinya
kesultanan Siak, dengan sendirinya mengucapkan pengertian bahwa dikawasan Riau
(dalam pengertian geo administrasi sekarang ini) ketika itu, ada dua pusat
kekuasaan. Yaitu Riau yang berpusat di Ulu Riau dengan Sultannya Sulaiman
Badrul Alamsyah, dan kedua kesultanan Siak dengan penguasanyan Raja kecil.
Sekalipun dalam berbagai penulisan, selalu harus ditunjukkan bahwa hulu kedua
Kesultanan ini adalah satu, yaitu Kesultanan Johor yang merupakan penerus
Malaka. Oleh karenanya banyak juga yang berpendapat bahwa Imperium Melayu di
kawasan Semenanjung dan tenggara Asia itu jatuh bangun selama lebih dari lima
abad. Dimulai dengan kesultanan Malaka (1400-1528), dilanjutkan Johor
(1528-1722), dan ditutup oleh Riau dan Siak yang berakhir tahun 1945. Bahkan
mungkin lebih jika dikaitkan dengan munculnya Kesultanan Pahang yang dahulu
menurunkan bagian dari wilayah Riau, dan Johor yang kemudian bangkit kembali
sesudah Trakat London, 1824.
Namun
demikian, dalam kaitan yang lebih khusus, apa yang disebut sebagai Kesultanan
Riau itu, adalah eks Kesultanan Johor. Kalau sebelum terjadi perebutan
kekuasaan antara keturunan Sultan Malaka dan keturunan Bendahara Tun Habib,
Kesultanan Johor itu disebut sebagai Johor, Pahang dan Riau, sesudah perbelahan
itu sebutannya menjadi Riau, Johor dan Pahang. Itu bermula dari tahun 1722 saat
Sultan Sulaiman dilantik dan menjadikan Riau (dalam hal ini Riau dalam
pengertian ibukota dan bukan wilayah) sebagai pusat kekuasaannya. Sementara
Johor dan Pahang, keduanya dijadikan daerah pegangan yang masing-masing
dikuasai oleh dua Petinggi kerajaan. Johor dibawah seorang Temenggung, dan
Pahang dibawah Bendahara. Tahun 1824, wilayah kekuasaan Riau ini tinggal
lagi gugusan pulau Bintan, Lingga, Batam, dan Pulau Tujuh (Natuna). Sedangkan
Johor dan Pahang serta Singapura masuk wilayah semenanjung dan berdiri sendiri.
Dipandang
dari segi kekuasaan dan kedaulatan sebagai sebuah kerajaan yang merdeka dan
berdulat, sebenarnya Kesultanan Riau itu hanya berlangsung tak lebih dari 62
tahun (1722-1784). Sebab, dengan berakhirnya perang Riau (1782-1784) dimana
Riau dikalahkan oleh Belanda, maka sejak saat itu Riau sudah sepenuhnya berada
dibawah kekuasaan VOC. Dalam perjanjian di atas kapal perang VOC “Utrech”,
antara lain disebut bahwa Riau mengakui Belanda sebagai penguasa tertinggi, dan
pengantian para Sultan dan Wakil Sultan Harus dengan seizin VOC. Riau ketika
itu meskipun punya sultan dan perangkat pemerintahan, toh tak lebih dari sebuah
koloni yang dalam pengertian kesombongan VOC disebut sebagai daerah “Anugerah
sang ratu dan sebagai pinjaman”. Ketika terjadi peralihan kekuasaan antara
Belanda dan Inggris akibat perang Eropa 1795, Riau sempat sekejap menjadi
negeri merdeka. Ketika Inggris mengambil alih semua kekuasaan Belanda seperti
Malaka, dan negeri-negeri lain di Semenanjung Malaysia, Riau, oleh Inggris
dinyatakan bebas dan berarti sendiri. Tetapi akibat berbagi kelemahan
pemerintahan ketika itu, Riau kembali jatuh ke dalam kencaman Belanda, 1815,
ketika seluruh jajahan Belanda yang diambil alih Inggris dikembalikan.
Tenggelam
Jejak-jejak
sejarah yang gelap dan saling berbaur itulah yang kemudian membuat Kesultanan
Riau yang secara jelas adanya selama 189 tahun itu, seperti terlepas dari
catatan sejarah. Ia seakan tenggelam dalam raupan tentang kebesaran sejarah
Johor yang dianggap berlangsung dari 1528 sampai dengan tahun 1824, dan
tenggelam dalam pengertian sebuah koloni jajahan Belanda (1824-1913), sebelum
akhirnya dihapuskan sama sekali dari daftar administrasi pemerintah kolonial
Belanda di Indonesia sebagai daerah kerajaan. Ia hanya menjadi sebuah
karesidenan yang kemudian menjadi teras daerah kekuasaan propinsi Riau.
Jejak-jejak
sejarah yang tenggelam dalam belukar dan kemudian terus terlupakan itu, bukan
cuma diterima oleh Kesultanan Riau, juga Kesultanan Siak. Dalam buku-buku
sejarah nasional yang dipelajari di sekolah-sekolah tampaknyaber lawan Sultan
Siak terhadap VOC di Guntung dan berhasil membantai habis satu datasemen tentara
VOC, tak cukup kuat untuk dicatat. Juga dengan perang Riau 1782-1784 yang
menewaskan ribuan- tentara VOC dan menenggelamkan sebuah kapal perang komando
VOC “Malaka Walvaren” bersama 300 pasukannya. Padahal dalam berbagai penulisan
sejarah asing, seperti buku “Jan Kompeni” (C.R. Boxer, SH-1983) perang tersebut
ikut dicatat.
Anti
Bugis
Usaha
untuk merambas belukar sejarah kerajaan-kerajaan Melayu di Riau itu, bukan tak
ada. Di Riau sendiri tahun 1975 sudah ada satu seminar sejarah Riau, yang
kemudian tahun 1977 diikuti dengan terbitnya buku “Sejarah Riau” (Mukhtar
Luthfi, dkk 1977). Tetapi buku sejarah itu ditangguhkan pengedarannya karena
ada bagian isinya yang masih jadi sengketa. Sejak awal buku itu sudak dikencam
sebagai kurang obyektif dan banyak mengelapkan fakta sejarah. Dalam pembicaraan
tentang Kesultanan Riau misalnya, buku itu dikencam sebagai terlalu “Siak
Sentris” dan terlalu “Anti Bugis”.
Peranan
yang jernih dari bangsawan dan pengusaha Melayu keturunan Bulgis, disulap
demikian rupa dan tenggelam oleh berbagi figur keturunan Melayu asli yang
sebenarnya tidak begitu amat menonjol. Upaya untuk mengangkat figur Raja Kecik
sebagi tokoh utama pemersatu kekuatan dan kekuasaan orang Melayu setelah Malaka
runtuh dan Johor tumbang, membuat penulis sejarah tersebut jadi berat sebelah.
Kepincangan
dalam penulisan itu, tampaknya ada kaitan dengan upaya melawan berbagai
penulisan sejarah yang sudah ada, terutama hasil kerja para penulis dari
Kesultanan Riau sendiri, seperti Raja Ali Hajji dengan Tuhfat Annavis, juga
terhadap silsilah Melayu Bugis, yang dianggap terlalu “Bugis sentris” pula dan
mengenyampingkan sama sekali hasil kecermelangan beberapa tokoh keturunan
Melayu, serta serta menyudutkan figur Raja Kecik sebagai “Si Pembuat Onar”
Sayang
pertemuan ilmiah yang sudah memilih aspek sejarah sebagai salah satu masalah
yang jadi bahasan, tidak sempat menampilkan penulisan tentang sejarah
kesultanan-kesultanan Melayu di Riau dan jernih, sehingga belukar sejarah yang
sudah semak samun itu menjadi agak lebih terang. Ada beberapa makalah lain,
seperti sejarah Kesultanan Melayu di Sumatera Timur (Tengku Lukman Sinar SH,
Medan), tetapi amat sedikit menyentuh tentang Kesultanan Riau yang dianggap
sebagai sumber pembentukan bahasa Melayu tinggi itu.[7]
Epilog
Syair Perahu
Inilah
gerangan suatu madah
Mengarang
syair terlalu indah
Di sanalah
jalan tempat berpindah
Di sanalah
jalan diperbaiki sudah
Wahai muda
kenalilah dirimu
Ialah perahu
tamsil tubuhmu
Tiadalah
berapa.. lama hidupmu
Ke akhirat
jua kekal diammu
Wahai muda
arif budiman
Kayuh
pengayuh dengan pedoman
Alat
perahumu jua kerjakan
Di sanalah
jalan memperbaiki Insan
Perteguh jua
alat prahumu
Hasilkan
bekal air dan kayu
Dayung
pengayuh taruhlah di situ
Supayalah
laju prahumu itu.
LAMPIRAN
Lampiran 1
Pidato
Prof. Dr.HAMKA dalam seminar Sejarah Riau, Prakarsa Universitas Riau (UNRI) di
Pekanbaru tanggal: 20-25 Mei 1975
Lampiran 2
Warkah Wasiat Raja Haji Fisabilillah Pada semua bangsa Melayu
Lampiran
3
Gurindam 12
[1]
Disampaikan dalam acara: Talkshow Nasional “Sejarah Indonesia dalam perspektif
Baru; Upaya membongkar distorsi sejarah.” 22 September 2011, Gedung Rektorat
Lantai IV Universitas Riau.
[2]
Direktur Malay Research Foundation, Head Section dari Qolbu Re-Enginering
Foundation.
[3]
Prof. Dr. Hamka, 1982, Dari perbendaharaan Lama, Hal. VIII
[5]
Ada di lampiran 1.
[6] Petikan Notulensi acara seminar
Budaya Melayu dalam Perspektif Kekinian (Simbolis atau Subatantif?) yang ditaja oleh Yayasan TAJAM (Tuah Jati
Melayu) di Hotel Pangeran Pekanbaru,03 Juni 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar